Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ragam Penderitaan Konsumen

21 November 2017   12:56 Diperbarui: 21 November 2017   13:02 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau anda minta tolong ke mbah google untuk mentranslate kosa kata jalan tol dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, mungkin hasilnya adalah highway. Jangan salahkan mbah google, sebab dia tidak pernah melewati jalan tol sehingga tidak mengetahui kondisi per-tolan di Indonesia. Mbah google tidak mengamati bahwa satu-satunya perbedaan antara jalan tol dan jalan umum adalah yang satu berbayar dan yang satu lagi gratis.

Bahkan teramat sering terjadi bahwa orang yang melintas di jalan tol yang sudah dibayar itu justru merasakan kemacetan lebih parah dibandingkan dengan kemacetan di jalan umum di sebelahnya.

1. Hak Konsumen

Apaan itu hak konsumen?, mungkin begitulah benak pengelola jalan tol, yang labirin otaknya hanya melulu tentang penghasilan tunai dan uang segar. Dari UU tentang jalan tol, mereka sangat konsisten terhadap dan tentang pasal kenaikan tarif yang boleh dilakukan setiap tahun untuk penyesuaian terhadap inflasi. Pasal lain, semisal tentang batas kecepatan minimum, mutu jalan, sterilisasi jalan, sama sekali tidak peduli. Prinsip pay and forget adalah realitas harian di jalan tol. Bayar, lalu rasakan dan nikmati, itu urusan sendiri.

Mereka, pengelola tol itu, menyebarkan baliho-baliho kebohongan di sepanjang tepian tol, baliho tentang kecepatan minimum 60 km/jam. Kampret, jangankan 60 km/jam, hanya bisa 10 cm/menit karena padat sekali dan macet total.

Pada hari Kamis 16 November 2017, saya pulang dari kantor di Rawamangun ke rumah di Jati Bening, berangkat pulang pada pukul 20.30 WIB, tiba di rumah pukul 01.30 WIB esok harinya, dan saya harus membayar total Rp 11.500 untuk kenikmatan selama tiga jam terpenjara di jalan tol ini. Dan, tiba-tiba saya dengar berita bahwa tarif akan naik. Kampret.

2. Sterilisasi Tol

"Truk dan Bus ambil jalur kiri, Jalur kanan hanya untuk kendaraan yang mendahului", Bohong besar itu, sebab semua melanggar itu. Tetapi tidak ada secuilpun usaha dari pengelola tol untuk menegakkan aturan seperti itu, biarkan asal sudah membayar, pay anda forget.

Ketika masuk tol dari pintu tol Halim Timur menuju tol Tanjung Priok, di situ sering terparkir truk container dari sejak malam hingga pagi. Saya duga mereka sengaja parkir di situ untuk mengatur waktu agar tidak terlalu cepat tiba di pelabuhan, menghemat biaya parkir di pelabuhan yang memang mahal.

Dari tol Halim menuju Tanjung Priok, saya sering menjumpai balok kayu yang melintang di jalan sangat membahayakan terutama kendaraan kecil seperti sedan. Jalan tol berlubang dan bergerundul tidak rata itu biasa, pengelola hanya mengingatkan agar berhati-hati, itu saja.

3. Penderitaan Konsumen

Tetapi penderitaan konsumen di Indonesia bukan hanya disebabkan bobroknya pengelolaan jalan tol. Untunglah rakyat Indonesia itu hebat dan kuat, selalu bisa menemukan sisi humor dari suatu derita. Untung bukan lutut, begitu katanya saat jempol kakinya tergencet.

Dengan alasan nasionalisme, konsumen diminta untuk lebih mengutamakan produk dalam negeri. Tetapi kebalikannya, agar produsen dalam negeri lebih memperhatikan hak-hak konsumen, hal seperti itu tidak pernah atau belum pernah terdengar.

Ketika menagih uang polis asuransi, para sales sangat ramah dan datang berpakaian rapi dan tepat waktu. Giliran konsumen mengajukan klaim, semua yang berkaitan dengan perasuransian lenyap, atau paling tidak sangat sulit dihubungi. Pada surat kontrak, hal-hal sangat penting yang berkaitan dengan hak-hak konsumen dicetak teramat kecil, hanya bisa dibaca jelas oleh superman yang bermata bionic. Sambil juga beriklan  bahwa hanya orang bodoh yang tidak mengasuransikan dirinya. Bah ......Sesekali sih mereka menyiarkan pembayaran polis dalam jumlah besar, untuk iklan, terutama karena orang yang menerima polis memiliki pengaruh kuat, atau karena pejabat pemerintah, atau karena artis.

Derita yang lain?. Semua maskapai konsisten pada aturan bahwa penumpang yang datang terlambat akan ditinggalkan tanpa pengembalian uang. Tetapi mereka cukup minta maaf jika keberangkatan mengalami penundaan berjam-jam, dan permintaan maaf itupun cukup melalui mikrofon, barangkali sambil cekikikan mentertawakan betapa dungungnya calon penumpan itu. Apa yang mereka katakan ketika penerbangan mereka batalkan?, uang anda akan dikembalikan paling cepat setelah 14 hari kerja dengan potongan sekian untuk administrasi, bah.

Entah apa maksudnya, di swalayan atau supermarket tertera harga barang Rp. 1875, yang saya ketahui pecahan uang beredar yang terkecil adalah koin seratus rupiah. Ini derita yang lain lagi, sebab ketika saya bayar dengan uang Rp 2000, kembalian yang saya terima hanya sebiji koin seratus rupiah.

Tidak usah berteriak-teriak agar konsumen mencintai produk lokal, tetapi kalian para produsen lokal, cintailah konsumen itu, pasti konsumen akan membalas cintamu. Di manapun di jagad raya, cinta yang paling baik itu adalah cinta dua arah.

4. Penderitaan Tersembunyi.

Iklan-iklan di TV menjadi derita tersembunyi. Tampaknya tidak ada sensor, kalaupun ada hanya yang berkaitan dengan selangkangan.

"Kalau mau pintar dan banyak akal, minum susu ....". Kata sebuah iklan susu formula. Pada hal seperti yang diketahui orang paling bodoh sekalipun, satu-satunya jalan untuk menjadi pintar adalah dengan banyak belajar.

Kalau di iklan, tim dayung kita menjadi juara dunia karena, seperti anda sudah tahu, minum ekstra jos, diimbuhi lagi dengan kata "laki minum ekstra jos". Bah, kampret kau, saya tidak pernah dan tidak akan pernah minum ekstra jos, lalu kau sebut aku bukan laki?. Bahkan saya yakin, lelaki sejati tidak ada yang meminumnya, sebab lelaki sejati tidak memerlukan itu.

Sebuah operator seluler menawarkan begini di iklannya, gratis internetan seharian. Lhu yang membuat iklan itu yang bodoh, atau lhu memandang semua pemirsa TV yang bodoh?, memang orang tidak bekerja mencari nafkah?

Sebenarnya masih banyak derita lain konsumen, tetapi biarlah yang lain itu dituliskan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun