Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"The Coming of Golden Age"

28 Oktober 2017   15:16 Diperbarui: 28 Oktober 2017   15:24 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SELAMAT MEMPERINGATI HARI SUMPAH PEMUDA ***

Yang paling menarik dari peristiwa 28 Oktober 1928 bukan tentang apa isi sumpah yang fenomenal itu, yang layak dicatat dengan tinta emas dalam lembar sejarah kebangsaan. Tetapi, adalah bagaimana perjuangan para pemuda tiba di titik itu. Medan perjuangan psikis dan hambatan fisik yang mesti ditaklukkan pasti sangat berat dan mengancam. Salut setinggi-tingginya kepada setiap person, generasi emas.

Mari melompat ke masa kini. Bonus demografi yang akan kita raih sudah didengungkan sejak awal abad 21, kondisi dimana penduduk usia produktif berjumlah jauh lebih banyak dari usia non produktif karena masih anak-anak atau karena sudah lanjut usia. Bonus demografi yang sangat menggiurkan itu diprediksi akan kita nikmati mulai tahun 2030, tiga belas tahun dari sejak tulisan ini tayang di Kompasiana, The Coming of Golden Age.

Di tahun 2030, kita dambakan saat itu para pemuda-pemudi kita adalah manusia-manusia yang memiliki fanatisme dan nasionalisme, memiliki daya juang dan daya tahan, memiliki kreatifitas dan komitmen, paling tidak setara dengan pemuda-pemudi yang menggerakkan sumpah bersejarah itu pada tahun 1928. Tahun 2030 itu berjarak seratus tahun lebih dari tahun 1928, masa sih tidak bisa?

Apa yang kita investasikan sejak awal abad 21untuk menghasilkan generasi produktif tahun 2030 menjadi faktor penentu sangat krusial, apakah bonus demografi itu diraih atau hanya lewat melintas menguap disapu zaman?

'1. Kondisi yang Mencemaskan

Enam belas tahun sejak didengungkan, pada 2 September 2016, terbitlah tulisan di harian Kompas yang ditulis oleh Victoria Fanggidae. Menurut survey OECD : Indonesia terpuruk di peringkat terbawah pada hampir semua jenis kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat, seperti kemampuan literasi, numerasi, dan kemampuan memecahkan masalah. Padahal survey dilakukan di Jakarta yang IPM-nya jauh berada di atas rata-rata IPM nasional.

Syamsul Rizal, Guru besar di Universitas Syahkuala, menurunkan tulisan yang lebih mengerikan di harian Kompas, 21/09/2017. Kepada 42 orang mahasiswa baru saya ujikan 10 soal sederhana (tingkat SD, pen).Salah satu soal yaitu (1/2) -- (1/7) + 2 = ..?, hanya sebelas mahasiswa baru yang bisa menjawab benar, 31 orang menjawab salah atau tidak mampu menjawab. Untuk menentukan akar-akar dari sebuah persamaan kuadrat, hanya 2 mahasiswa yang mampu menjawab benar. Mengapa mereka bisa lulus SD, lulus SMP, lulus SMA, lulus pada seleksi mahasiswa baru? There is something wrong !!!

Apa yang ditulis Victoria Fanggidae dan Samsul Rizal ini berbanding terbalik dengan apa yang tertulis di rapor setiap siswa.Coba periksa nilai matematika di rapor sejak SD, SMP, sampai SMA, semua ke-31 orang yang tidak mampu menjawab soal (1/2) -- (1/7) + 2 = ..? kemungkinan besar nilai matematika tercantum 8 atau lebih dari skala nilai maksimum 10.

Sudah sangat lama, nilai rapor kita mengalami hiper-inflasi, dan tampaknya masih lama lagi akan tetap seperti itu .

2. Budaya Instan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun