Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Murid Bodoh?

25 Oktober 2017   15:56 Diperbarui: 25 Oktober 2017   16:02 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam buku "Against Method", Feyeraband mengatakankan begini : mengatakan orang lain bodoh, itulah hal paling bodoh.

Tetapi kini beredar berita yang jadi viral di "Line" mengenai ungkapan dan alasan diberlakukannya sistem ZONASI pada penerimaan siswa baru SD sampai SMA.

Alasan diberlakukannya sistem zonasi adalah agr murid bodoh tidak kumpul di sekolah bodoh, semua murid bisa tersebar merata. Kalau anak pintar rebutan sekolah pintar nanti mereka semua akan kumpul di sekolah pintar. Sebaliknya yang sekolah kurang bagus nanti anak bodoh ngumpul di sana, seperti kasta sudra itu. ... (Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah).

Akan terdengar terlalu idealis dan utopis jika saya katakan bahwa "tidak ada anak bodoh", akan lebih realistis untuk mengatakan bahwa setiap anak (manusia) pasti memiliki kepintaran masing-masing. Albert Einstein bahkan pernah dijuluki oleh gurunya sebagai anjing pemalas, dan Thomas Alfa Edison dijuluki dengan sebutan Edistupid.

Nah ... dalam beberapa hal saya ingin memberikan pendapat seadanya, semampu saya.

'1. Meratakan Pohon

Ada dua cara menyeragamkan tinggi pohon di taman agar terlihat lebih asri dan cantik. Pertama, memupuk pohon kerdil agar tumbuh lebih subur mengimbangi pohon yang lebih tinggi. Kedua, memangkas pohon yang lebih tinggi agar terlihat sama pendek dengan pohon yang lebih pendek. Ungkapan metafora.

Mengapa ada sekolah favorit dan ada yang tidak favorit, mengapa ada sekolah unggul dan ada sekolah kere, mengapa sebuah sekolah menjadi rebutan dan sekolah lain sebaiknya dihindari, adalah sebuah pertanyaan penting dan sangat mendasar yang harus diteliti jawabannya dan ditemukan solusinya.

Tidak sulit menemukan jawaban terhadap semua pertanyaan itu, jika terdapat kejujuran dan ketulusan dalam setiap upaya menemukan jawaban. Tetapi justru kejujuran dan ketulusan itu yang sudah menjadi langka dan antik, betul kan?

Pemerintah sudah lama tidak pernah jujur menilai dan mengevaluasi dirinya sendiri. Dan karena itu pemerintah melalui menteri pendidikan lebih memilih cara kedua untuk meratakan pohon di taman, cara gampang dan mudah terlihat hasilnya, tetapi cara yang salah dan bodoh.

Dari pada melakukan upaya maksimal untuk mengubah sekolah bodoh (tidak favorit) agar menjadi sekolah pintar (favorit) sehingga semua sekolah menjadi sekolah pintar (favorit), menteri pendidikan lebih memilih cara ajaib dan mencengangkan bagi otak yang waras, yaitu memangkas sekolah pintar agar turun level mendekati sekolah bodoh. Langkah jitu untuk meraih pemerataan, yaitu dengan menurunkan standar.

2. Hak Asasi

Pendidikan yang baik menjadi salah satu hak asasi setiap manusia, mukadimah konstitusi begitu jelas dan benderang mengatakan seperti itu. Di mata saya sistem zonasi masuk kategori sistem yang melanggar hak asasi anak untuk memperoleh pendidikan yang baik, sistem yang membatasi ruang gerak orang tua untuk memberikan anaknya pendidikan yang bermutu.

Pemerintah yang waras lebih memilih cara yaitu meningkatkan mutu sekolah yang kurang bermutu sampai sederajat dengan sekolah bermutu lainnya. Cara ini memang membutuhkan cucuran keringat dan wajib memeras pikiran, memelihara nurani dan kejujuran, yang semuanya tampak kurang dimiliki oleh para pemangku pendidikan sekarang ini.

Memeratakan fasilitas seluruh sekolah di NKRI, memeratakan sebaran guru ke seluruh wilayah NKRI, memeratakan sarana pendidikan ke seluruh sekolah di setiap wilayah NKRI, memeratakan mutu pelayanan di semua sekolah di seluruh wilayah NKRI, menjadi yang paling utama dan paling penting untuk dituntaskan, tetapi oleh siapa?

3. Psikologi Pendidikan

Psikologi pendidikan mengatakan bahwa "tidak ada anak bodoh". Terdengar idealis dan utopis, tetapi memang mesti begitulah paradigma yang wajib dikukuhi dengan konsisten dan penuh keyakinan. Maka sebutan anak bodoh di sekolah bodohbagi saya terdengar menjadi kemunafikan untuk menutupi ketidak mampuan, pada hal beban kebijakan dan wewenang pendidikan terletak dipundak pemerintah. Bukankah mukadimah konstitusi mengatakan bahwa salah satu tujuan dari kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa?

Menurut sistem pendidikan masa itu, Albert Einstein sampai dijuluki anjing pemalas, Thomas Alfa Edison digelari Edistupid, Heisenberg terpaksa diluluskan dengan nilai terendah, beberapa saat kemudian kita tau siapa orang bertiga ini.

Jadi yang bodoh itu siapa?, sistemnya, dan karena itu yang membuat sistemnya.

4. Wilayah Sempit

Seperti wacana full day school, sistem zonasi juga terlihat bersumber dari pemikiran kerdil yang melihat Indonesia hanya kota-kota besar saja. Sistem zonasi mungkin (sangat meragukan) dapat membantu sedikit mengurai kemacetan di kota besar, tetapi menjadi sistem yang sangat aneh dan membingungkan jika diterapkan di seluruh wilayah NKRI. Dahulu, sekolah SMA terdekat ke rumah saya berjarak 3 km yang harus saya tempuh dengan berjalan kaki.

Indonesia itu adalah Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun