Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangsa Ini Menuju Kuburan (?)

30 November 2016   16:00 Diperbarui: 30 November 2016   16:15 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap terjadi tindakan anarkis menjurus SARA, serta merta semua berteriak toleransi, toleransi, toleransi. Mahluk apa sih toleransi itu?

Pernah saya dengar tentang toleransi katanya begini: mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati mayoritas, itu kata pak Hatta Rajasa semasa kampanye pilpres. Jadi toleransi itu adalah mayoritas menjadi tuan yang melindungi, minoritas menjadi hamba yang harus menghormati tuan mayoritas itu. Maka saya katakan dengan lugas, kalau begitu persetan itu toleransi. Semua warga Negara bersamaan di depan hukum, itu bunyi pasal di konstitusi yang membuat kita sepakat menjadi satu Negara. Di konstitusi tidak pernah disebutkan tentang mayoritas dan minoritas, yang ditekankan dan diharuskan adalah persamaan hak, titik.

Toleransi itu adalah tentang menghargai perbedaan, hormati hak si Anu untuk beribadah sesuai keyakinannya, jangan ganggu saat si Ani merayakan hari besar agamanya, dan sebagainya, dan lain-lainnya. Lihat dengan lebih cermat, kata hormati, hargai, lebih mengarah kepengertian jangan ganggu, atau biarkan begitu. Ini sama saja seperti toleransi di kuburan. Anda tahu toleransi di kuburan?

Sebuah komplek dimana semua penghuninya tidak saling mengganggu, tidak satupun yang usil menyelidiki tetangga sebelah, bagaimana keadaan tetangga sebelah tidak perlu diketahui, sangat tertib dan tenteram dan damai, gossip tetangga tidak pernah ada, komplek itu adalah pemakaman umum. Itulah toleransi di kuburan, toleransi mayat dengan mayat lainnya.

Jika seperti itu toleransi yang kita pahami, maka kita sedang menuju kuburan di pemakaman. Artinya, kita sebagai Negara (NKRI) sedang menuju liang kubur, entah besok, entah minggu depan, entah sepuluh tahun dari sekarang, tetapi langkah pasti kita adalah menuju pemakaman.

Persaingan global yang akan mengubur kita, kalah berkompetisi dengan bangsa lain yang akan memakamkan kita. Perkembangan teknologi dimana kita tidak mampu mengambil peran signifikan, itu yang mengubur kita. Sebabnya, toleransi seperti yang kita pahami itu, toleransi dikuburan, toleransi mayat dengan mayat, tidak memberikan nilai tambah apapun, meski seupil saja, kepada kemampuan dan daya tahan bangsa ini dalam menghadapi kompetisi global yang sangat sadis itu. Rest In Peace.

Sukarno itu hanya bergelar akademis insiniur, Moh Hatta hanya bergelar akademis doktorandus, M Yamin hanya sarjana hukum (dulu disebut Mr), Tan Malaka bahkan tidak menuntaskan satupun gelar akademis, tetapi semua mereka memiliki visi yang jauh lebih hebat dari para penyandang gelar akademis Doktor saat ini. Semua politikus sekarang ini, dengan gelar akademis berderet-deret, kadang gelar akademisnya lebih panjang dari namanya, tetapi kemampuannya hanya seupil dibandingkan terhadap Sukarno, Hatta, Yamin, Subandrio, Tan Malaka.

Orang-orang hebat itulah yang mendefinisikan dengan begitu tepat dan sangat presisi, apa yang kita butuhkan agar bisa bangkit menjadi bangsa besar yang beradab, dituangkan di dalam sila ke-3 Pancasila : PERSATUAN INDONESIA.

Kata itu saya tebalkan dan saya beri garis bawah, karena hanya dengan Persatuan, sekali lagi hanya dengan Persatuan, kita akan mampu mengarungi dan berenang di tengah lautan persaingan global, yang berombak sangat ganas itu.

Dan PERSATUAN INDONESIA yang dimaksud itu adalah setiap warga Negara bahu-mambahu, tolong menolong, bergotong-royong, sederap langkah menuju tujuan yang sama, semua itu dilakukan di dalam perbedaan suku, perbedaan ras, perbedaan agama, perbedaan profesi, dan perbedaan lainnya, di bawah slogan Bhineka Tunggal Ika. Toleransi di kuburan, itu bukan Persatuan Indonesia.

Kesedihan saya saat ini adalah, bukan persatuan yang kita wujudkan, tetapi persatean. Anda tentu tau bagaimana sate dihidangkan, terkelompok berdasarkan tusukan, seperti kita yang mulai terkelompok berdasarkan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun