Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok Harus Mundur

15 September 2014   16:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:39 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak tokoh yang mengomentari mundurnya Ahok dari Partai Gerindra.

Politisi partai Golkar, Ali Mochtar Ngabalin berpendapat begini :”kalau Ahok jantan, dia juga harus mundur dari jabatan Wakil Gubernur DKI. Ahok itu kan terpilih jadi Wakil Gubernur karena dicalonkan Partai Gerindra. Maka seharusnya jika dia mundur dari partai, maka dia harus mundur juga dari Wakil Gubernur”.

Kalau ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, M. Taufik berkata begini :”itu kan Ahok nggak tahu diri, masak nggak ngerti. Ahok itu kan diusung partai Gerindra. Ahok harus tahu diri dan sadarlah”.

Yang hendak dibahas bukan tentang apakah mundurnya Ahok dari Partai Gerindra melanggar atau tidak melanggar etika berpolitik. Membahas etika dalam berpolitik di negeri ini adalah suatu hal yang muskil dan rumit, sebab masihkah ada di Negeri ini entah satu orang saja politikus yang beretika dan berpolitik dengan santun?. Setiap politikus yang berteriak tentang etika selalu terdengar sumbang dan terlihat munafik, dan memang begitulah adanya.

Yang hendak ditelisik adalah paradigma. Apa paradigma dari Ali M Ngabalin dan M. Taufik sehingga memberikan komentar seperti di atas itu tadi.

Kedua orang ini sama-sama berpendapat bahwa “Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI adalah karena dicalonkan oleh Gerindra”. Sementara kita semua tahu bahwa Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI adalah “karena dipilih rakyat”. Menjadi Wakil Gubernur karena dicalonkan partai dengan menjadi Wakil Gubernur karena dipilih rakyat adalah dua sudut pandang yang sangat bertolakbelakang. Yang pertama melihat itu sebagai kehendak Partai (daulat Partai), yang kedua melihatnya sebagai kehendak rakyat (daulat rakyat). Kekuasaan dari “daulat partai” adalah kekuasaan yang mengingkari kehendak rakyat. Prioritas pertama dan yang utama dari kekuasaan yang berasal dari daulat Partai tentu saja adalah kemakmuran anggota dan kelanggengan kekuasaan Partai. Sebaliknya kekuasaan yang berasal dari daulat rakyat ditujukan untuk mensejahterakan rakyat. Normalnya ya seperti itu.

Pencalonan Ahok oleh Gerindra itu hanya sebuah titik kecil atau bahkan sangat kecil, tetapi suara rakyatlah yang menempatkan Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI. Bukti sebaliknya baru saja kita lihat bersama, Prabowo dicalonkan Gerindra. Tetapi karena kehendak mayoritas rakyat bukan ke Prabowo, maka pencalonan oleh Gerindra itu menjadi tidak berguna.

Nah, jika hanya karena mencalonkan seseorang saja Partai sudah merasa mempunyai jasa sangat besar, bagaimana lagi pongahnya parpol ini jika mereka wewenang memilih kepala daerah ada di tangan mereka?. Tentu partai dapat melakukannya melalui wakil-wakil mereka yang duduk di DPRD.

Yang dikatakan Ahok bisa benar, bahwa kepala daerah akan menjadi mesin ATM buat parpol. Bayangkanlah jika kepala daerah bersama-sama DPRD semuanya adalah wakil Parpol, di manakah posisi rakyat?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun