Kata ekonom, jalan raya itu urat nadi perekonomian. Jika urat nadi di dalam sistem sirkulasi tubuh macet, maka potensi tubuh mengalami kerusakan amatlah sangat besar. Akan banyak sel-sel tubuh yang tidak memperoleh jatah sesuai kebutuhan untuk menjalankan peran dan fungsinya menopang hidup tubuh dan kehidupan jiwa.
Kalau betul bahwa lalu-lintas itu cerminan urat nadi perekonomian, lantas seperti apakah kondisi dari perlalulintasan kita?. Yang terdengar saban hari adalah keluhan tentang kemacetan dan kesemrawutan lalu-lintas. Ini kontras dengan berita lainnya tentang ekonomi yang bertumbuh lima persen lebih saban tahun. Jadi mustinya ada yang berbohong, kalau bukan ekonom ya pemerintah. Sebab tidaklah mungkin dua hal yang berlawananan sama-sama benar, ya kan?.
Perlalulintasan itu memang dapat menjadi arena studi sosial sebab di situ tumplek segala jenis orang. Kalau di kota-kota besar, hidup orang-orang lebih lama di jalan raya daripada di tempat lain. Tua-tua di jalan, kata mereka yang hidup di kota besar.
Orang yang terlalu kaya sampai orang yang terlalu miskin, orang yang terlalu pintar sampai yang kelewat tolol. Orang yang kelewat tampan dan cantik sampai orang yang musa lubis (muka sadis luar biasa), semua tumplek plek di jalan raya. Dengan begitu, jalan raya dapat digunakan sebagai cerminan dari keadaan psikologi sosial masyarakat.
Dan beginilah kondisi perlalulintasan kita itu. Kalau lampu lalu-lintas padam karena masalah dari PLN maka pasti perlalulintasan bukan hanya macet, tetapi stagnan tidak bergerak sama sekali. Semua jenis orang saling serobot tidak akan ada yang mengalah, itu pasti. Klakson semua jenis kendaraan pasti tang-ting-tung.
Bukan berarti kalau lampu lalu-lintas tidak mati maka perlalulintasan menjadi lebih baik, sebab jiwa  yang doyan menyerobot tidak lantas hilang. Melanggar aturan lalu lintas itu sudah sampai menjadi kebanggaan diri, jadi dengan begitu akan susah diubah. Sebab tidak ada orang yang ingin kebanggaannya hilang, itu kata psikolog.
Kalau ruang perlalulintasan demikian mencekam karena semrawut, lantas mudah dipahami kalau ruang perpolitikan juga begitu, saling menerkam dan saling menyikut. Pasti tidak jauh berbeda situasinya pada ruang persekolahan dan atau perkuliahan, dan pasti begitu juga di ruang-ruang kantor entah itu kantor milik pemerintah atau kantor milik swasta. Bahkan pada ruang peribadahan kesemrawutan itu tetap terbawa. Tengoklah, pada hari-hari perayaan agama, orang merasa bahwa itu adalah hari dimana semua berhak melanggar semua aturan perlalulintasan.
Situasi semrawut dan mencekam di jalan raya pastilah terbawa ikut saat tiba di kantor. Bisa juga sebaliknya, bahwa kesemrawutan di jalan raya itu dibawa dari atau akibat dari kesemrawutan di kantor.
Negara maju dan yang beradab, salah satu ciri yang paling mudah dilihat adalah bahwa lalu-lintas di sana rapi dan orang-orang yang berlalu lalang mematuhi semua peraturan perlalulintasan.
Lantas dengan begitu, atau dengan keadaan perlalulintasan seperti yang semua kita dapat melihatnya dan mengalaminya atau bahkan melakukkannya, dengan modal apakah kita ini akan mencapai kemajuan menuju Negara beradab?.
Pertanyaan terakhir adalah, siapakah yang berbohong, pemerintah atau ekonom?.
Pusing ah, lebih baik mandi air yang sedingin es untuk mendinginkan hati dan pikiran yang panas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H