Selain sebagai pergantian tahun kalender, tahun baru sering dianggap atau diperlakukan sebagai momen untuk melakukan refleksi. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan tahun baru sebagai momen membangkitkan “passion”, menyalakan api di dalam diri, begitu katanya.
Refleksi tentu bertujuan untuk dapat menjadi lebih baik, syukur kalau bisa menjadi lebih mulia. Membangkitkan “passion” diri pastilah sangat baik dan mulia. Nah, paling baik sebetulnya jika itu semua dilakukan cukup sering, tidak harus menunggu sampai tiba pergantian tahun.
Menjadi orang baik itu sebetulnya tidak sulit, tetapi menjadi orang baik terus menerus (paling tidak dalam jangka lama) itulah yang sangat sulit. Begitu juga untuk menjadi mulia.
Kita bisa mendadak jadi orang baik, terutama saat ada bencana. Paling tidak kita dapat menjadi teman bagi orang yang tertimpa bencana. Bencana banjir dan longsor, gunung api yang meletus, gempa dan tsunami, pesawat yang jatuh, teror bom bunuh diri, semua itu dapat memantik api menjadikan kita orang baik yang perhatian dan toleran, yang berwelas asih dan peduli, yang rela berkorban, dan lain-lainnya.
Dan, inilah yang aneh itu. Mengapa kebaikan harus dipicu oleh bencana? Semua kebaikan itu terbatas atau dibatasi hanya pada selang waktu selama bencana masih menjadi berita hangat atau panas. Sepuluh tahun setelah mega bencana tsunami Aceh berlalu, tetapi ribuan korban masih tinggal di barak pengungsi belum memperoleh tempat tinggal. Masihkah ada yang peduli?
Lantas, ketika tidak ada bencana yang menjadi berita hangat, kita buatlah bencana yang lain. Korupsi, merampok uang negara, merampok tanah ulayat, manipulasi, membocorkan soal UN, hiruk-pikuk memperebutkan kekuasaan, mafia BBM, mafia proyek, mafia hukum, mafia perdagangan manusia, menjadi konsumen dan bandar narkoba, tawuran, pemerkosaan, pembunuhan, tindakan anarkis dan intoleran, terutama politikisasi pendidikan, sesungguhnya semua itu adalah bencana yang kita ciptakan dan terjadi terus menerus. Korban bukanlah hitungan angka, tetapi adalah kelangsungan hidup sebuah bangsa.
Di sinilah letak persamaan antara “hari pergantian tahun” dengan “bencana malapetaka”. Keduanya menjadi pemicu temporer hal-hal baik di dalam diri.
tujuh puluh kali pergantian tahun yang telah kita lalui, dan itu berarti tujuh puluh kali pula refleksi sebagai sebuah bangsa telah kita lakukan. Dan ……?
Pada pergantian dari tahun 2013 ke 2014 yang lalu tentu saja refleksi sebagai sebuah bangsa itu kita lakukan juga. Tetapi sepanjang tahun 2014 korupsi tak kunjung berkurang, intoleransi makin marak, tindakan anarkis merajalela, kegaduhan dan bencana politik yang menguras energi, peredaran narkoba makin marak sudah menjangkau ke dalam kampus, dan seterusnyalah …..
Lantas, hasil refleksi sebagai bangsa pada akhir tahun 2014 ini, seperti apa nanti ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H