Tiba-tiba saja saya ingin berpantun. Lalu saya nulis pantun, tentu saja tidak mudah merumuskan pesan di dua baris terakhir
 Menulis dua kalimat sampiran bukan berarti lebih mudah. Di sinilah nikmatnya berpantun. Kita kudu mikir.Â
Rasanya lebih mudah menulis pantun di saat ada acara. Pesan yang ingin disampaikan sudah jelas. Misalnya jumat sore kemarin, saya mengenalkan buku baru baru bersamaan ulangtahun dua orang kawan.Â
Ramai kawan di ini petang
Rayakan ultah Anick dan Budhy
Makasih kawan telah datang
Bawalah pulang buku ini
Jika pagi sambil ngopi, tak ada peristiwa, nulis pantun harus memutar otak sedikit. Mencari pesan yang ingin disampaikan. Untunglah saya dapat ide baru: kaitkan saja pantun itu dengan nama hari. Jadi pantun hari Minggu, ada kata "minggu" di pantun itu. Di hari lain, ada nama hari pada saat itu.Â
Namun, kemudahan belum juga datang. Pesan yang ditulis tetap kudu dipikir. Misalnya hari minggu ini saya tulis pantun yang mengandung "minggu".
Buah nangka buah semangka
Hidangkan di atas meja
Saat koran minggu langka
Baca pantun ini saja
Dua baris terakhir yang saya tulis, tidak selalu mengandung pesan moral. Apalagi nasihat. Tak sanggup saya menasihati orang yang membaca pantun.Â
Saya lebih memilih, kalau bisa pantun itu mengundang tawa, setidaknya timbul senyum segaris bagi yang baca, seperti pantun hari minggu di atas.
 Membuat orang senyum membaca pantun kita tidak selalu sukses. Karena itu saya juga menyisipkan pesan yang berisi perasaan pada pantun Sabtu kemarin
Sabtu ke pasar beli kentang
Beli juga mentegaÂ
Senang tidak selalu datang
Malang tak bisa ditolak
Hari Kamis menurut saya hari paling lama duduk mencari pesan dua kalimat terakhir. Kopi sudah habis segelas, ide baru datang sekilas. Teringat gadis cantik yang gemar mengenakan pakaian tradisional. Lalu jadilah pantun ini.Â
Pria berkumis tebal menyeramkan
Tetapi hatinya baik sekali
Hari kamis kita nantikan
Hari dia datang berkebaya
Nah, Rabu kemarin rada mudah menulis  pantun karena ada yang saya pikirkan hari itu. Sejumlah tagihan rutin harus dibayarkan. Jadilah pantun ini:
Sudah dipakai berkali-kali
Kain licin bernama satin
Telah tiba Rabu 10 Juli
Saatnya bayar tagihan rutin
Reaksi teman beragam. Antara lain, penggemar pinjol ya? Banyak yang ngeledek juga: nasib banyak utang. Padahal hari Selasa sebelumnya banyak yang komen cie.. cie..Â
Jari luka tidak terasa
Berdarah karena tertusuk jarum
Gembira hati pagi selasa
Lihat kamu penuh senyum
Hari Senin pagi saya tak kirim pantun. Karena ada pekerjaan harus selesai. Saya tulis pantun sore. Kebetulan saat itu hujan. Sayangnya hujan turun bulan Juli. Andai saja ketika itu masih Juni, enaknya juga jika pantun dikaitkan dengan puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni. Jadi pantun di bawah ini dipaksakan berasosiasi dengan Hujan Bulan Juni.Â
Pekan kemarin ke cikini
Sempat beli nasi kebuli
Hujan senin sore ini
Menambah luka bulan juli
O, ya, lupa. Pantun itu saya kirim WAG yang saya aktif membacanya. Jadi ada saja komennya. Yang agak sering, mereka nulis: cakep, berpantun terus ya.Â
Saya jawab begini. Di WAG tiap pagi banyak yang ngirim ucapan selamat pagi dengan stiker. Atau ada yang rajin mengirim doa. Pkl 6.00 doa sudah nongol. Saya memilih mengirim pantun tiap pagi sebagai pengganti ucapan selamat pagi. Atau, sebagai pertanda bahwa saya masih ada di WAG ini.Â
Pagi ini saya senang sekali, karena patun saya dibalas pantun pula oleh dua penyair terkenal yang saya kagumi, yaitu Zawawi Imron dan Aspar Paturusi. Jadi kami berbalas pantun tentang kopi. Saya tidak tulis pantun mereka di sini karena saya belum minta izin.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H