Akhirnya Rektor UI Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D.  mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil komisaris utama Bank BRI, pada 22 Juli 2021. Artinya, dia merelakan diri tidak lagi  mendapatkan gaji besar (menurut hitungan Kompas.com, Rp419 juta per bulan), dan pembagian keuntungan (tatiem dan bonus) setiap tahun sebagai wakil Komisaris. Jumlah yang didapatnya miliaran rupiah.
Prof Ari Mundur dari jabatan wakil komisaris, setelah jalannya menuju kedudukan bergaji besar tersebut dibuka lebar-lebar oleh Presiden Jokowi. Sebelumnya statuta UI melarang rektor UI merangkap jabatan dengan posisi sebagai komisaris atau direksi BUMN. Larangan itu jelas, dan tidak bisa ditafsirkan lain. Semua sepakat.Â
Entah apa pertimbangannya, Presiden Jokowi mengubah statuta UI itu, sehingga Prof Ari boleh merangkap jabatan asalkan di posisi komisaris. Jabatan direksi tetap dilarang.Â
Pengecualian yang dibuat oleh Presiden inilah yang menjadi kehebohan di media sosial. Orang di dalam UI sebagian beranggapan, ini masalah pribadi rektor. Bukan urusan UI. Namun netizen selalu mempunyai sisi kritis yang tajak: mereka melihat rangkap jabatan rektor UI sebagai urusan publik.
Saya kira Prof Ari tidak tahan dengan tekanan massa yang dilontarkan melalui media sosial, yang dialamatkan ke Prof Ari.. Ada yang kasar, halus, dan lucu. Berhari-hari tekanan terhadap Prof Ari muncul. Selain itu, juga ada kiriman papan bunga dengan pesan teks  lucu-lucuan dan sindiran sinis. Akhirnya sang profesor mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan komisaris di Bank BRI yang telah diampunya sejak 18 Februari 2020 lalu.
Di Indonesia, sebenarnya rangkap jabatan itu hal biasa dan sudah dilakoni oleh banyak orang, terutama di masa orde baru. Dwifungsi ABRI itu sesungguhnya juga rangkap jabatan. Banyak sekali contoh di masa lalu tentang hal ini. Dulu tidak ada yang memasalahkan misalnya Pangab Tri Sutrisno jadi ketua PBSI, misalnya, menjadi ketua PBSI periode 1985-1993.
Mengapa sekarang urusan Prof Ari rangkap jabatan  menjadi heboh seperti itu?
Pertama isu ini memang digoreng oleh orang-orang yang gemar menyalahkan Jokowi, apapun persoalannya. Nah, isu bahwa Jokowi menandatangani perubahan statuta ini seperti pelanggaran seorang bek di depan gawang yang harus dihukum dengan penalti. Karena itu, netizen mengkritik kebijakan pemerintah soal ini dengan tendangan keras ke Presiden Jokowi.
Kedua, di luar para haters Jokowi, banyak pihak yang tidak setuju dengan perangkapan jabatan yang dilakukan oleh Prof Ari. Tidak etis, katanya.Â
Secara spesifik mereka mengatakan bahwa banyak urusan di UI yang harus mendapat perhatian dari rektor, dan menuntut Rektor harus lebih banyak waktu untuk memikirkan kemajuan UI. Salah satu indikasi yang diberikan adalah tentang ranking UI dibandingkan universitas lain di dunia.Â
Jika kita jujur melihat UI, memang masih banyak urusan yang mestinya bisa lebih baik lagi yang terjadi di kampus kuning itu. Misalnya, jumlah jurnal ilmiah di kampus, jumlah paten yang dihasilkan oleh dosen, rasio mahasiswa dibandingkan dosen, dan lain sebagainya. Belum lagi, urusan paham radikalisme yang subur di UI. Jika mau dibuat daftarnya, pasti akan banyak nomor urutnya.
Di Indonesia bisa saja UI menjadi universitas terbaik. Tetapi, dibandingkan perguruan tinggi lainnya di dunia, sudah pasti UI tidak masuk kelompok yang terbaik.
Jadi dari segi ini saja banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh rektor. Â UI membutuhkan perhatian yang lebih besar dari rektor, atau rektor diminta bekerja lebih keras untuk meningkatkan kualitas UI dan menghasilkan lulusan terbaik.
Saya jadi ingat, kutipan dari Goenawan Mohamad: Dibutuhkan seseorang yang 24 jam waktu dan perhatiannya dicurahkan untuk menjadikan Tempo sebagai majalah mingguan berita terbaik di Indonesia.
Kampus UI memang bukan institusi media bisnis seperti Tempo. Namun semangatnya bisa diambil. Yaitu banyak sekali hal yang harus diperhatikan agar kampus UI bisa menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Kualitas sarjana yang dihasilkan oleh UI tidak bisa diserahkan kepada rutinitas yang selama ini berjalan. Apalagi di zaman internet semakin cepat ini, banyak hal yang berubah dengan cepat pula. Tentu banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh UI.Â
Apalagi sekarang ada perubahan yang dibawa oleh Mas Menteri Nadiem, yang menawarkan Konsep Kampus Merdeka kepada kampus.
Semua perubahan itu, tidak bisa berjalan dengan baik jika rektor hanya menyediakan waktu 50% untuk UI, dan sisanya untuk institusi lain. Padahal gaji rektor diterima 100%.
Begitu pula BRI, mempunya dinamika sendiri yang harus dipantau oleh komisarisnya. Jika komisaris hanya datang saat rapat saja, dan  apalagi semua kebijakan disiapkan oleh staf, seperti pada umumnya komisaris BUMN saat ini, ya tidak bagus juga buat BRI. Unfaedah juga seorang prof duduk di bangku komisaris di salah satu bank terbesar di Indonesia itu. Apalagi sekarang masyarakat mendapat contoh kerja komisaris yang baik dari Ahok, yang banyak memberikan masukan kepada direksi.
Jadi kedua belah pihak akan dirugikan jika rektor kerja rangkap. Ini sama saja dengan seorang pria yang beristri dua. Mana mungkin bisa memberikan perhatian dan kemajuan kepada dua rumah tangga si pria.Â
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga bisa melihat sekitar kita. Orang yang bekerja rangkap, tidak akan menghasilkan kinerja baik pada keduanya. Saya kenal seorang pegawai negeri yang juga menjalankan usaha pariwisata di luar kantor. Bisa ditebak, mungkin tubuhnya berada di kementerian tapi HP-nya terhubung dengan rekan bisnisnya.Â
Jadi, para rektor yang ingin bekerja rangkap itu, harus ingat. Dia sudah pasti orang pintar, karena sudah diangkat oleh koleganya atau wali amanat UI sebagai rektor. Tentu saja majelis wali amanat itu  memilih rektor tidak seperti mengocok dadu. Banyak hal yang dipertimbangkan.
Nah, jika orang yang dipilih oleh wali amanat ini bekerja lagi di tempat lain, tentu ini namanya merendahkan amanat yang diberikan oleh wali amanat. Mungkin juga bisa disebut berkhianat.
Ini sama saja dengan seorang suami yang telah diberi amanat oleh mertuanya untuk menjaga anak gadis yang dinikahinya: menyayangi, memberikan kebahagiaan, rasa nyaman, dan  membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah.  Eh, si mantu malah mencari mertua baru agar bisa merangkap jabatan dua suami.
Sudah saatnya para pejabat negara fokus pada jabatan yang diamanatkan ke mereka. Seperti kata Presiden Jokowi: satu jabatan saja belum tentu berhasil.
Untunglah akhirnya Prof Ari akhirnya memilih satu jabatan saja. Selamat bekerja, Pak Ari.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H