Mohon tunggu...
Jonminofri Nazir
Jonminofri Nazir Mohon Tunggu... Jurnalis - dosen, penulis, pemotret, dan pesepeda, juga penikmat Transjakrta dan MRT

Menulis saja. Juga berfikir, bersepeda, dan senyum. Serta memotret.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Apakah Jurnalis Bisa Jadi Sumber Berita?

18 Februari 2021   07:16 Diperbarui: 18 Februari 2021   07:38 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Seorang kawan mengirimi saya sebuah link berita tentang bahaya galon guna ulang (atau galon isi ulang),  dengan judul "Begini BPA Bermigrasi dari Kemasan Plastik ke Air". Orang yang dijadikan sumber berita pada berita ini adalah seorang jurnalis. Pertanyaannya adalah apakah seorang jurnalis bisa dijadikan sumber berita? Apakah opini jurnalis boleh dikutip media sebagai berita? 

Berita tersebut tayang di jpnn.com pada tanggal 16 Februari 2021. Masalah yang dibahas adalah tentang kandungan Bisphenol A atau BPA pada kemasan air yang terbuat dari plastik. Untuk menyimpulkan apakah BPA berbahaya atau tidak tentu butuh penelitian laboratorium yang hanya bisa dilakukan oleh para peneliti terdidik di bidangnya. Harus orang yang benar-benar  kompeten di bidangnya yang bisa beropini soal ini, itu pun harus berdasarkan penelitian.  

Jurnalis yang menjadi sumber berita tadi adalah  Ketua Perkumpulan Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL). Artinya, Jpnn mengutip keterangan atau opini yang oleh ketua JPKL. 

Ada dua hal yang patut kita bahas pada berita ini. 

Pertama tentang sumber berita tadi. Pada berita di atas jelas-jelas disebutkan bahwa seluruh keterangan dalam berita di atas berasal dari ketua JPKL. Dalam berita ini ketua JPKL ditempatkan bukan sebagai jurnalis. Tetapi sebagai sumber berita. Sedangkan jurnalis penulis berita adalah wartawan dari Jpnn. Jadi, jurnalis Jpnn mengutip keterangan dari ketua JPKL sebagai sumber berita.

Apakah boleh seorang jurnalis mengutip jurnalis lain sebagai sumber berita. Tentu saja boleh, sepanjang jurnalis lain yang dikutip itu mempunyai kapasitas tentang informasi yang diberikannya. Misalnya, Seorang jurnalis menyaksikan sebuah kecelakaan  yang terjadi di depan matanya, lalu keterangannya dikutip oleh media lain. Tentu saja jurnalis ini boleh dikutip sebagai sumber, sebab dia adalah saksi yang melihat langsung sebuah peristiwa. 

Contoh lain adalah, seorang Jurnalis pernah bertemu dan mewawancarai Bung Karno, misalnya. Lalu ada media yang mengutip ungkapan jurnalis itu yang bersumber dari Bung Karno. Jadi, sebenarnya yang diungkapkan oleh jurnalis ini adalah opini Bung Karno yang kemudian dikutip oleh sebuah media. Ini sah saja. Dan ini sama saja dengan sebuah media mengutip omongan Gus Dur, misalnya, yang disampakani oleh seorang yang pernah bertemu dengan Gus Dur semasa hidupnya..

Dalam hal berita yang diberitakan Jpnn kemarin, sayangnya tidak dijelaskan apakah sebagai Ketua JPKL itu juga sebagai ahli kimia? Sebagai peneliti?  Media itu menyebutkan jurnalis itu dikutip sebagai ketua JPKL, bukan ahli kimia dan juga bukan sebagai seorang peneliti. Pertanyaan yang muncul adalah apakah jurnalis itu mempunyai kapasitas tentang hal yang disampaikannya jika dia hanya Ketua JPKL?

Lalu, mungkin jurnalis itu dikutip opininya oleh media itu karena dia mengutip dari sebuah jurnal ilmiah yang pernah melakukan penelitian tentang masalah ini? Jika ini yang terjadi, mestinya media yang mengutip Ketua JPKL ini  melakukan tabayun atau check and recheck ke jurnal yang disebutkan oleh Roso. Padahal banyak sekali sumber berita soal ini tersedia. Misalnya, di https://www.factsaboutbpa.org. Situs ini menyajikan hasil peneltian tentang BPA di banyak negara, termasuk hasil penelitian FDA (food and drug administration) Amerika Serikat.

Jadi, kesimpulannya, sumber informasi atau opini yang dikutip Jpnn ini tidak layak karena tidak jelas kaitan antara opini yang disampaikannya dengan keahliannya. Bukankah dia seorang jurnalis, dan sudah pasti pula  bukan ahli kimia atau ahli mikrobiologi, dan juga bukan seorang peneliti di laboratorium di sebuah kampus.  Jika sumbernya tidak jelas, bisa saja isi informasinya adalah hoax.

Sekarang mari kita lihat seperti apa isi berita yang disampaikannya. Apakah benar galon guna ulang berbahaya untuk bayi, balita, dan ibu hamil?

Ini adalah masalah sensitif tentang kesehatan.  Di negara kita ada BPOM yang mengatur tentang makanan dan obat yang beredar di wilayah hukum Indonesia. Semua produk makanan dan obat harus ada persetujuan dari BPOM sebelum diedarkan. 

Rupanya BPOM telah mengeluarkan keterangan resmi soal ini pada 24 Januari 2021.. Saya kutipkan 4 butir keterangan BPOM tentang BPA di bawah ini:

  1. Berdasarkan hasil pengawasan Badan POM terhadap kemasan galon AMDK yang terbuat dari Polikarbonat (PC) selama lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa migrasi BPA di bawah 0.01 bpj (10 mikrogram/kg) atau masih dalam batas aman.

  2. Untuk memastikan paparan BPA pada tingkat aman, Badan POM telah menetapkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Peraturan ini mengatur persyaratan keamanan kemasan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) dari kemasan PC.

  3. Kajian Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyatakan belum ada risiko bahaya kesehatan terkait BPA karena data paparan BPA terlalu rendah untuk menimbulkan bahaya kesehatan. EFSA menetapkan batas aman paparan BPA oleh konsumen adalah 4 mikrogram/kg berat badan/hari. Sebagai ilustrasi, seseorang dengan berat badan 60 kg masih dalam batas aman jika mengonsumsi BPA 240 mikrogram/hari. Penelitian tentang paparan BPA (Elsevier, 2017) menunjukkan kisaran paparan sekitar 0,008-0,065 mikrogram/kg berat badan/hari sehingga belum ada risiko bahaya kesehatan terkait paparan BPA.

  4. Beberapa penelitian internasional juga menunjukkan penggunaan kemasan PC termasuk galon AMDK secara berulang tidak meningkatkan migrasi BPA.

Penjelasan seperti di atas, yang bersumber dari BPOM juga dikutip oleh kompas.com (30/01/2021).

Saya juga menemukan keterangan seorang Pakar Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor, Dr. Eko Hari Purnomo yang dimuat di sinar harapan online pada 4 Februari 2021. Intinya, Dr Eko menjelaskan: sangat kecil kemungkinan terjadinya migrasi BPA ke dalam air yang ada dalam galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat (PC). Sebab, air bukan pelarut yang baik untuk BPA, apalagi pada suhu ruangan. "Hasil studi juga menemukan kecil kemungkinan untuk BPA bermigrasi dalam air," ujarnya.

Jadi, sebaiknya media harus bijak memilih dan teliti sumber berita yang mereka kutip. Hanya sumber yang berkompeten yang layak dikutip. Jika masalahnya rumit dan menyangkut hasil penelitian, maka yang layak menjadi sumber adalah seorang ilmuwan  peneliti yang sesuai dengan bidangnya, atau lembaga resmi seperti FDA, BPOM, atau lembaga sejenis di negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun