[caption id="attachment_388202" align="aligncenter" width="512" caption="Denny Sakrie, si Google Hidup Soal Musik (Dok. FB Denny Sakrie)"][/caption]
Saya kaget mendengar berita Denny Sakrie meninggal Sabtu siang, 3 Januari. Ini berita pertama yang saya baca setelah tidur siang hari Sabtu itu. Suasana Tahun baru masih terasa tapi berita duka tak bisa distop. Saya merasa kehilangan seorang hebat ketika mendengar Denny pergi ke sisiNYA.
Saya mengenal Denny karena saya pernah mengundang dia untuk wawancara televisi yang saya asuh (Impact bersama Jonminofri di Qtv, Indovision). Sekitar tahun 2008. Saya lupa tanggal persisnya. Ketika itu saya ingin mendiskusikan tntang industri musik di Indonesia.
Dia hangat dalam bergaul. Dia membawakan dirinya kepada saya seperti kami sudah berkenalan lama. Padahal baru kali itu saya bertemu secara phisik dengan Denny. Konon selalu begitu cara Denny bergaul. Nampak sekali dia selalu berfikir positif pada orang. Menghargai orang lain, menghargai waktu, dan ramah. Saya pun terbawa oleh keriangan dia.
Toh, yang paling saya kagumi ketika itu (hingga sekarang) adalah pengetahuannya tentang musik.Dia bukan hanya seperti kamus berjalan, tetapi sudah seperti google hidup dan bersuara. Dia bisa memberikan keterangan tentang apa saja yang kita tanya dengan suaranya. Tanpa delay, tidak lemot. Jika keterangannya kurang lengkap, tanya lagi. Seperti google, dia memberikan file lain untuk kita dengarkan. Dia menceritakan dengan senang hati, suara yang mantap (mungkin karena dia juga penyiar radio dan pengisi usara iklan). Dan matanya yang bersinar setiap menjawab. Bagi saya ini pertanda bahwa dia bahagia dengan pilihan hidupnya sebagai pengamat musik, penulis musik, dan hal lain yang berkaitan dengan musik. Dalam hal ini saya kira dia termasuk makhluk langka di Indonesia.
Kemampuan dia seperti google hidup untuk musik itu benar-benar mengagumkan, dan membuat saya iri. Sekedar memperkuat vonis saya bahwa dia hebat sebagai goolge hidup soal musik, coba perhatikan tiga tulisan terakhir dia di blognya, yang ditulisnya tanggal 1 dan 2 januari 2015. Mungkin ini tulisannya terakhir yang dipublikasikan kepada publik.
Tulisan tanggal 2 bercerita tentang profil Fariz RM, sepanjang 9.395 karakter. Judulnya “Selamat ulang tahun Fariz RM”.Dia menyebut Fariz, yang berulang tahun tanggal 5 januari, sebagai sahabat. Tulisan ini menunjukkan Denny sebagai Google hidup tentang musik.
Jika dibandingkan dengan tulisan untuk media cetak, tulisan tersebut tergolong sangat panjang. Bisa memakan setengah halaman koran. Sebab, satu artikel biasanya hanya 4.000 karakter. Untuk menulis sepanjang itu, dengan angel yang sangat terjaga, Denny perlu bahan mentah yang banyak. Apalagi tulisannya padat, tanpa bunga-bunga, dan banyak “dagingnya”. Jadi, menulis tentang Fariz ini tidak menjadi soal bagi Denny karena dia adalah seorang google hidup.
Dia menceritakan garis hidup Fariz sebagai pemusik saja, tanpa pengaitkan dengan apapun. Fokus, dengan angel yang tajam. Dalam tulisan itu, dia menggambarkan Fariz sudah bermain musik sejak pakai celana pendek. Dia pandai main drum. Pertama kali diajak masuk dunia musik profesional pada usia SMA oleh Keenan dan Chrisye, dari geng Peganggsaan. Di sini Fariz selalu mampir setelah jam sekolah di SMA N 3 habis, masih berseragam sekolah.
Setelah pindah sekolah ke ITB Bandung, Fariz akrab denganHarry Roesli, pemusik sekaligus akademisi musik (gabungan profesi yang langka juga di Indonesia). Harry Roesli menitipkan kelompok penyanyi yang tengah dibinanya kepada Fariz ketika Harry Roesli melanjutkan sekolah di luar.
Tulisan itu dilengkapi dengan beberapa gambar Fariz dan Denny. Menurut Google hidup ini, Fariz akan tetap aktif di musik. Seorang pemusik tak akan pernah betul-betul meninggalkan musik. Begitu menurut Denny.
Tulisan kedua Denny bercerita tentang Majalah Musik MG (Musik dan Gitar). Ini adalah majalah yang berisi lagu dan akor gitar. Sangat digemari oleh remaja Denny dan orang seusianya di zaman itu. Kali ini Denny bercerita dari angle bisnis, bahwa majalah ini sangat sukses sehingga banyak follower-nya, dan uniknya folowernya juga sukses dan saling bersiang. Keduanya sama-sama mengeluarkan album kaset, yang juga laku di pasar, padahal di jual dengan harga Rp 600 per keping. Sedangkan kaset ain waktu itu hanya Rp 500. Harga majalah MG hanya Rp 400 per buku. Saya sangat kagum dengan Denny dalam menulis artikel ini: dia masih ingat hal detail yang terkait dengan topik yang ditulisnya. Di bidang ini saya merasa parah sekali. He he...
Sedangkan tulisan ketiga yang ditulis Denny adalah soal kebangkitan kembali rekaman dalam medium vinyl atau piringan hitam.Sebagai google hidup, dia tahu penyanyi mana saja yang mengeluarkan album dalam bentuk vinyl, termasuk album terbaru Pink Floyd. Denny juga menyajikan data penyanyi Indonesia yang membuat album dalam vinyl, dan tempat penjual album dalam bentuk vinyl di Jakarta, yaitu di lantai dasar Blok M Mall dan Pasar Santa.
***
Yang mengagumkan dari Denny adalah pilihan hidupnya sebagai penulis musik, yang akhirnya menjadikannya sebagai google hidup tentang musik.Tentu saja pilihan ini didorong oleh kecintaannya pada musik sejak dia masih SMP dan SMA di Maluku.
Sampai kini profesinya itu masih ditekuninya dengan setia. Setidaknya di akun Facebooknya, setiap hari selalu saja ada postingannya soal musik. Musik lokal atau musik asing. Saya termasuk yang tidak pernah melewatkan postingannya, walaupun sekedar mengintip. Saya memperhatikan sambil mengagumi dia sebagai google hidup musik.
Di akun FB Denny saya melihat algi album Ida Royani, benyamin, Bing Slamet, Koes Plus, dan lainnya. Banyak sekali.Koleksinya banyak sekali.
Jika dia posting soal Koes Plus, sebagai penggemar Koes Plus saya akan membaca. Pernah suatu kali dia memposting klipping majalah, sebuah tulisan Denny tentang Murry.Tulisan itu saya nilai baik sekali. Ia berhasil menempatkan Murry sebagaimana adanya. Maksud saya, Murry bicara sangat manusiawi, waktu itu Koes Bersaudara baru gabung lagi bikin album baru. Katan Murry seperti dikutip Denny: bagaimana saya keluar dari Koes Plus, saya kan cari duitnya di Koes Plus.. he he..
Saya yakin sekali dia tidak dapat duit darikegiatannya di media sosial. Tapi dia melakoninnya dengan tekun,dengan kadar yang sukar ditiru orang lain. Banyak akun yang aktif seperti dia, tapi sebagian ‘dijalankan’ oleh admin, sehingga greget dari pemiliknya tak nampak, dan postingannya tidak fokus seperti Denny.
Sebagai google hidup soal musik, tentu saja dia bisa memenuhi keinginan berbagai kalangan yang membutuhkan informasi soal musik.Karena itu, dia selalu tampak di setiap event musik, setidaknya begitu yang terlihat dalam akun FB-nya.Dia dipakai oleh majalah musik Rolling Stones. Dia, disewa sebagai pembawa acara musik di radio. Dia menulis buku tentang musik, dan beberapa belum diterbitkan.Dia juga bekerja sebagai pengisi suara di iklan.
Saya membayangkan uang yang didapatnya tidak banyak jika menggeluti profesi seperti itu. Di mana ada honor berlimpah bagi penulis, seperti honor besar diterima oleh pembawa acara atau pemusik top.Padahal, si Google hidup soal musik ini orang hebat, yang sukar dicari tandingannya di Indonesia.
Karena itu, saya tidak heran mendengar cerita pedagang kaset/CD bekas di Mayestik, Jakarta Selatan, bernama Juned. Katanya, Denny Sakrie sering datang ke sini menjual beberapa koleksinya.
Selamat jalan Google hidup Denny Sakrie
[caption id="attachment_362989" align="aligncenter" width="560" caption="Aku Face Book milk Denny Sakrie"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H