Mohon tunggu...
Jon Masli
Jon Masli Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

BUMN Kucilkan Swasta? Solusi Presiden

6 Februari 2018   10:00 Diperbarui: 6 Februari 2018   10:24 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataan sekarang yang memegang ratusan proyek2 infrastruktur yang bernilai ratusan tri;iun rupiah adalah perusahaan2 plat merah, terutama Wika, Hutama Karya, Adhi Karya, dll.  Fakta ini telah jelas melanggar peraturan presiden no 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa dimana pemenag tender proyek pemerintah dibatasi diperkenankan dapat mengerjakan maksimal sejumlah tertentu dari jumlah proyek pemerintah. 

Yang terjadi dilapangan adalah mereka memegang terlalu banyak proyek yang membuat perusahaan2 plat merah kelabakan terjebak disituasi terganggu cash flow dan keuangan atau permodalannya. Kita dapat mengerti disatu sisi mereka memang sudah go public dan harus mengejar pfofit untuk kepentingan dividen membayar para investornya, tapi apakah harus tidak beretika(maaf) dalam menguasai hampir semua proyek2 infrastruktur tersebut dengan mengurangi peran swasta secara makro, yang berdampak  banyak perusahaan swasta yang tidak kebagian dan harus tutup kelangsungan usahanya  Ekonomipun terganggu dengan banyaknya laid off pegawai, dan bagi perushaan  yang survive bertahan tidak dapat menyerap tenaga kerja. 

Banyak lagi pehenomena multiplier efek negatif kontra produktif ditengah semangat presiden mencanagkan ekonomi kerakyatan. Inilah saatnya kita mengharapkan pemahaman Pak Jokowi yang mantan pengusaha dan memahami betul akan praktik Bad Corporate Governance ini ditengah maraknya pembangunan infrastruktur dimana mana dengan  membangkitkan bisnis pengusaha nasional seperti model ekonomi kerakyatan yang bapak presiden canangkan selama ini dengan  merangkul kembali sinergi dengan perushaan2 swasta.

Sebagai konklusi, usulan solusi  kepada kedua belah kubu, idealnya adalah BUMN dan swasta perlu meningkatkan kerja sama saling memberdayakan perannya masing2 membangun ekonomi kerakyatan, titik!. Hendaknya BUMN jangan berbisnis dengan hanya bersinergi antar BUMN saja, tapi juga dengan swasta dan UMKM. 

Simak kembali tagline BUMN BERSINERGI. Perlukah direvisi menjadi SINERGI BUMN-SWASTA? Demikian juga para konglomerat yang terkadang cenderung berperilaku  beroligopoli,  beranak dan bercucu sehingga usaha2 swasta lain tidak berkesempatan berusaha. Phenomena ini sangat banyak dikelompok usaha konglomerat, tidak perlu kita sebutkan satu persatu, karena budaya bisnis Indonesia cenderung oligopoli. Sulit  bagi mereka atau penguasa bisnis Indonesia memahami apa itu conflict of interest, apalagi berbagi berusaha(memberi kesempatan peluang berusaha) dengan mengesubkan kephihak lain. 

Biasanya mereka mempunyai berbagai dalih yang beralasan walau terkadang melanggar kode etika berbisnis. Padahal para eksekutif dan CEO perusahaan swasta dan BUMN itu sudah piawai memahami apa itu artinya GCG bahkan sudah ikut training GCG yang  ngelotok. Kita tidak mutlak menyalahkan perilaku BUMN bersinergi, dan beranak bercucu itu, asal mereka paham apa implikasi boomerang effectnya dan  bijaksana  melaksanakan bisnis dengan  tidak mengurangi kesempatan para pelaku usaha swasta lainnya ikut berperan berbisnis. 

Konglomerat juga tidak kita salahkan menambah jumlah perusahaannya, selama mereka tidak mematikan para pelaku usaha, apalagi yang berada di lingkungan sekitarnya tempat berusaha. Bukankah mayoritas para pejabat maupun pebisnis swasta paham dengan soal tantangan konsekuensi berbisnis dengan model beranak bercucu itu yang memang ada baiknya dan banyak juga negatifnya? Bos-bos ini sudah melalui proses seleksi eksekutif yang ketat fit dan proper test(yang BUMN) dan lulusan sekolah tinggi dari universitas bergengsi untuk  berbisnis dengan berpedoman kepada Good Corporate Governance berbisnis dengan etika. 

Pelatihan GCG di BUMN Indonesia menghabiskan biaya dengan rekor tertinggi dikawasan ASEAN,  dimana ratusan milyar rupiah dianggarkan setiap tahun untuk GSG, namun hasilnya? Tapi kembali  banyak faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi mereka untuk  melahirkan anak dan cucu perusahaan, termasuk seperti alasan politik mengakomodir "para politikus" yang ikut berperan menduduki mereka menjabat, sampai ke alasan "risk manajemen"  seperti alasan perusahaan swasta yang kurang professional. 

Pada saat yang sama untuk Pak Rosan, Ketum KADIN, sepertinya perlu ada introspeksi masal para anggota2nya pelaku bisnis swasta KADIN dan melakukan perbaikan manajemen internal areas of improvement membenahi profesionalisme manajemen, kualitas pekerjaan, ketepatan waktu delivery, permodalan, dan lain2nya, bila perlu memberdayakan sinergi investasi asing dengan teknologi, manajemen dan permodalan mereka sehingga BUMN tidak beralasan lagi untuk tidak merangkul swasta dalam kegiatannya membangun infrastruktur dengan alasan2 klasik  tersebut.

Tepat sekali  kalau presiden sebagai mantan pelaku usaha swasta paham akan polemik ini  dan memberikan solusi  memerintahkan pemangkasan kelompok usaha BUMN menjadi 200 BUMN. Dan this is the moment, inilah saatnya, ketika pemerintah mendelegasi projek projek infrastruktur kepada Wika, Adhi Karya, Hutama Karya, Pelindo, Angkasa Pura, dan BUMN  lainnya, mohon kiranya mereka legowo mau berbagi/ sharing bisnis memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada para pengusaha swasta untuk ikut  berpartisipasi membangun proyek2 infrastruktur dengan semangat kebersamaan pelaksanaan ekonomi kerakyatan membangun NKRI, LETS MAKE INDONESIA GREAT AGAIN, maaf bukan bermaksud meniru Mang Donald Trump. Hanya dengan bersatunya BUMN, Koperasi, Konglomerat dan para pelaku usaha swasta besar, menengah, kecil dan UMKM, kita dapat membuat Indonesia lebih baik lagi mewujudkan target pertumbuhan ekonomi diatas 5,3% tahun 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun