Merujuk kepada visi dan misi BUMN sebagai salah satu pilar ekonomi yang dihandalkan oleh undang-undang, seharusnya Pelindo II tidak mematikan UKM disekitarnya. Apapun dalihnya, apa itu manajemen perubahan, transformasi, penertiban, konsolidasi, efisiensi tata kelola pelabuhan, dsb, Pelindo II seharusnya mengambil langkah aksi korporasi yang lebih terpuji dengan berpedoman kepada praktek Good Corporate Governance dan mengarah kepada pembinaan para pelaku UKM dengan meningkatkan profesionalisme manajemen mereka didalam berkolaborasi sebagai mitra usaha Pelindo II. Bukankah Pelindo II seharusnya dapat meniru perilaku best practice perusahaan2 pelabuhan raksasa seperti Port of Long Beach di California dan Port of New York dimana mereka mengoperasikan dua pelabuhan yang tersibuk di dunia tanpa bermitra dengan Hutchinson didalam mengelola pelabuhan2 raksasa itu dengan bebas “benturan kepentingan” dan “monopoli” untuk mencapai kinerja maksimal.
Bukankah ini yang diharapkan pemerintah sekarang menuju tatanan ekonomi kerakyatan yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi BUMN bermitra dengan perusahaan2 menengah? Drama bisnis yang kita lihat sehari hari di Tanjung Priok itu sarat dengan praktek benturan kepentingan kelompok2 penguasa dan parta politik karena suburnya lahan bisnis Pelindo II.
Dari catatan2 diatas, jelas sudah pencapaian kinerja Pelindo II ternyata meleset dari faktor2 key performance indicator atau indikator kunci keberhasilan perusahaan yang dijabarkan tadi. Kita berharap drama Pelindo II ini dapat menjadi pengalaman pembelajaran yang berharga sebagai sebuah BUMN yang dihandalkan menjadi pilar penopang ekonomi nasional. Terlebih bagi ratusan BUMN lainnya, kasus Pelindo II patut dijadikan studi kasus korporasi yang menarik, termasuk konteks kerja sama kemitraan perusahaan asing yang menginvestasikan modalnya.