Jon Masli, MBA, Penasehat Korporasi & Pengamat Investasi
Tulisan ini tidak bermaksud mencampuri kasus Pelindo II yang sedang berlanjut untuk mempengaruhi kepentingan pihak tertentu. Tetapi murni mencoba menganalisa kasus ini dari kacamata tata kelola korporasi yang baik atau lazimnya praktek Good Corporate Governance dengan melihat berbagai faktor yang saling berkaitan di dalam konteks mengelola sebuah perusahaan / korporasi.
Kasus Pelindo II perlu dicermati sebagai sebuah pengalaman pembelajaran korporasi nasional khususnya BUMN yang mencerminkan nilai tata kelola perusahaan Good Corporate Governance yang perlu penyempurnaan mendesak. Dari kacamata hukum sudah sangat jelas, bahwa ada terjadi perpanjangan kontrak kerja sama dengan asing (Hutchinson Group) sebelum kontrak kerja samanya berakhir. Ini mirip kasus Freeport yang sempat “kecium” oleh Menko Maritim dan menjadi gunjingan seru.
Belajar dari kasus Pelindo II, jelas sudah selama ini pelanggaran2 seperti ini atau jenis2 pelanggaran tata kelola korporasi di BUMN-BUMN dan BUMD-BUMD jarang terdeteksi atau terbongkar. Para pelaku korporasi kasus Pelindo II merefleksi betapa eratnya faktor uang dan kekuasaan saling berkaitan sehingga kepentingan pribadi atau kelompok mendominasi merugikan perusahaan BUMN dan pemegang saham.
Menunjuk berbagai tulisan Saudara Rhenald Kasali, pakar Manajemen Perubahan, yang gencar menulis tentang keberhasilan RJ Lino memimpin Pelindo II membuat perubahan2 dinamis bermitra dengan Hutchinson Group memperpanjang kerja sama yang berlanjut patut disimak dengan seksama. Beliau bahkan meminta Pansus Pelindo II untuk mengundang para pakar ekonomi dan manajemen memberikan pandangan mereka atas kasus ini, dengan argumentasi selama ini Pansus hanya berfokus mencecar masalah hukum saja, kurang mengangkat substansi manajemennya.
Memang diakui, bahwa dibawah kepemimpinan RJ. Lino, Pelindo II disatu sisi boleh berbangga karena telah berhasil mereposisikan dirinya sebagai perusahaan BUMN yang dinamis membuat perubahan besar melahirkan 21 anak perusahaan yang bergerak dibidang logistik jasa pelabuhan untuk menunjang kegiatan usahanya. Tanggung jawab dan kegiatan bisnis jasa logistik yang tadinya ditangani ratusan UKM kini berpindah tangan ke anak anak perusahaan Pelindo II. “Hebat” kata Saudara Rhenald Kasali yang sempat menulis dan memuji tentang keberanian RJL melakukan perubahan2 dan terobosan2 aksi korporasi Pelindo II selama ini.
Analisa kami berbeda dengan Saudara Rhenald Kasali yang melihat dari kacamata manajemen perubahan, sementara kami melihat kasus ini secara komprehensif tata kelola korporasi dengan memperhatikan berbagai kepentingan kelompok stake holder pemangku berbagai kepentingan yang mana ujung2nya bermuara kepada kinerja pengoperasian sebuah pelabuhan dengan efektif dan efisien yang menguntungkan semua pihak, khususnya ekonomi nasional. Dalam hal ini, ada beberapa kunci keberhasilan sebuah perusahaan dalam penilaian kinerjanya. Antara lain visi dan misi bisnis, kualitas manajemen, profitibilitas, operasional manajemen lapangan, hubungan kerja sama kemitraan, CSR, dampak langsung kepada ekonomi nasional dll.
Dalam konteks ini, Kehadiran kedua puluh satu perusahaan ini ternyata telah melanggar paling sedikit empat atau lebih dari faktor kesemua kunci keberhasilan kinerja atau Key Performance Indicator tersebut. Yang paling nyata adalah penciptaan ke 21 anak2 perusahaan tersebut telah menggusur usaha para pelaku UKM yang bisnisnya tiba2 terhenti diambil alih oleh anak2 perusahaan Pelindo II tadi dengan dalih efisiensi dan efektifitas kelola pelabuhan Tanjung Priok. Herannya aksi korporasi ini bukannya menurunkan biaya ekonomi tinggi dan meningkatkan pelayanan kepada para pemakai jasa pelabuhan seperti yang diharapkan, melainkan fakta dilapangan yang terjadi adalah sebaliknya dimana biaya ekonomi tetap tinggi dan dwelling time masih berkisar antara 5-7 hari. Drama aksi korporasi ini telah membuka mata masyarakat yang melihat Pelindo II sebagai sebuah raksasa BUMN yang kian menggurita dan telah memperlemah para pelaku UKM.
Padahal selama ini kita sering mendengar berbagai canangan para petinggi Kementerian BUMN bahwa salah satu misi BUMN adalah menumbuhkan usaha2 UKM ditempatnya beroperasi. BUMN juga menjalankan misi CSR dengan berbagai kegiatan community development yang antara lain penciptaan lapangan kerja dan pembinaan UKM. Dari kacamata kalangan pelaku korporasi yang selalu menjunjung tinggi praktek Good Corporate Governance, aksi korporasi Pelindo II itu sudah menyimpang dari misinya sebagai BUMN yang seharusnya mengayomi/ membina UKM2 tersebut, bukan menyingkirkan usaha mereka. Lebih konyol lagi, alhasil dari praktek kelahiran anak2 perusahaan tersebut dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas, otomatis tercipta pula para anggota Direksi dan Komisaris baru sejumlah puluhan eksekutif (Direksi dan Komisaris) yang konon bergaji tinggi dan dekat dengan para petinggi Pelindo II didalam mengelola bisnis dipelabuhan Tanjung Priok.
Konon mereka ini menambah beban Pelindo II dengan tunggangan berbagai kepentingan petinggi partai politik dan penguasa pemerintah. Kelompok eksekutif ini defakto juga menambah biaya operasi anak2 perusahaan2 tadi dan menjadi salah satu dari faktor2 penyebab biaya ekonomi tinggi lainnya yang tetap berlanjut. Bukankah Pelindo II harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dalam bentuk investasi Milyaran Rupiah membidani kelahiran “anak-anak perusahaannya”? Bukankah biaya-biaya ini harus di “recover” dalam perhitungan bisnis. Para pengguna jasa logistik juga mengeluhkan pungutan2 biaya transaksi2 “tidak resmi” yang masih merajalela. Masyarakat juga bertanya, bahwa dengan kehadiran anak2 perusahaannya, mengapa Pelindo II masih harus memperpanjang jasa kontrak manajemen Hutchinson, mengapa tidak dikelola sendiri? seperti komentar Menteri Perhubungan sebelumnya.
Fenomena lain yang berkembang adalah para Direksi dan Komisaris Pelindo II juga harus mendedikasi fokusnya memacu kinerja bisnis kesemua anak-anak perusahaan tadi. Hal ini membuat fokus Pelindo II pun pecah dalam perannya mengelola pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan urat nadi logistik ekonomi nasional. Ditambah lagi beban moral ketika manajemen harus berhadapan dengan anak2 perusahaannya, Pelindo II mau tidak mau akhirnya berbenturan kepentingan ketika terjadi wan prestasi anak perusahaannya. Terbayangkah bagaimana Pelindo II menegur atau menghukum anak2 perusahaannya yang kurang berkinerja? Bukankah Kementerian BUMN menyadari dan memahami makna conflict of interest atau benturan kepentingan di dalam konteks Good Corporate Governance?