Mohon tunggu...
Jon Kadis
Jon Kadis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Hobby baca, tulis opini hukum dan politik, sosial budaya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

RIP Mgr Hubertus Leteng dan Catatan Saya Sesama Alumni Kisol

31 Juli 2022   13:37 Diperbarui: 2 Agustus 2022   13:13 1852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini beliau meninggal di RS.Boromeus Bandung. Saya membaca kabar itu di WA Group Seminari Kisol dari Prof.Frans Borgias yang tinggal di Bandung. Kabar di WA itu diakiri dengan kata "mohon doa".

Almarhum pernah menjadi Uskup Dioses Ruteng cukup lama. Kemudian berhenti sebagai uskup, lalu berdomisili di Bandung. Setahu saya ia menjadi pastor pasroki di salah satu pastoran di sana. Hampir tiap hari raya Natal dan Paskah saya mendapat chat WA ucapan hari raya dari bliau. Ia teman, tapi juga sahabat.

Saya punya kesan pribadi dengan almarhum. Kesan pribadi itu antara lain:
1. Ia adik kelas kami di SMP Seminari Kisol dulu tahun 1970an.
2. Ia pemain sepakbola posisi depan kiri terluar. Untuk tingkat SMP kami tergabung dalam club Part 1, pemain inti. Dia sering mencetak goal dengan tendangan kaki kirinya. Lincah, cerdas menggiring bola dan kompak dalam team.
3. Sewaktu bliau jadi Uskup Ruteng, saya pernah jumpa dia di Ruteng dan di Denpasar. Bahan obrolan kami adalah tentang nostalgia main sepak bola di Kisol.

Pernah suatu saat saya berjumpa dia di istana uskup Ruteng pada jam istirahat siang, sekitar jam 2 siang. Waktu itu saya datang libur dari Bali. Saya pergi ke sana tanpa janji. Padahal saya dapat info bahwa kalau mau berjumpa Uskup, harus protokoler via sekretaris Uskup. Tapi abaikan itu. 

Saya jalan lewat samping kamar tidurnya, ketemu seorang awam, karyawan di situ, lagi setrika pakaian. Kesa (Sdr. dakam bahasa Manggarai) itu adik kelas saya di Kisol dulu. Kesa itu kepok (separuh teriak), "Oe kk Jonkadis... olee.. meletn ite ye.. perlu apa keta bo, nipi apa dite" (tumben, mimpi apa datang kemari). Dia nada teriak alasan karena kaget. Padahal tidak boleh suara keras, karena Uskup masih tidur, jam-jam sunyi. Ase (Adik) itu tampak merasa bersalah dengan suara besarnya.
"Perlu apa kaka?"
"Sbentar... Ase sudah beristri ka, pasti molasn wina me?" canda saya.
"Olee... jadi kaka ke sini hanya tanya itu ka, haha..." jawabnya, dan kami dua tertawa. Lalu saya lanjutkan,
"Olee... mau ketemu Uskup Huber Leteng ee...ada bliau ko? Permisi mau jumpa dia ka...?" nada saya separuh teriak juga. Alasan nada teriak saya supaya Uskup Huber yang masih tidur itu terbangun.
"Ae kk JonKadis.. Bp uskup masih istirahat tidur. Ssst... neka rabo, neka danga ngaok tite (maaf, suara kita jangan ribut). Tapi kk Jonkadis, kalo ketemu Uskup, harus melaui Vikjend ye... tidak bisa dadakan begini" kata Ase dengan suara pelan, supaya tidak melanggar tatatertip "kesunyian" di istana Keuskupan.

Selagi kami baku omong begitu, tiba-tiba Uskup Huber muncul di ruangan setrika itu. Pakai baju batik, celana panjang, rapih. Rupanya bliau tadi terbangun dengar suara ribut kami, suara saya. Dia sudah siap berjumpa tampaknya. Dalam hati saya berkata "berhasil coi !".
"Olee.. neka rabo e Monsinor, terganggu keta bo ite ga (maaf, Mgr terganggu)"
"Ae tidak e... mai e, tombo sina ruangan tamu, am manga perlun bo mai dite Kraeng Jon (mari kita ngobrol di ruang tamu resmi)". Lalu beliau ajak saya ke ruang tamu resmi itu.

Sebelum omong, saya cabut sebatang rokok, padahal di meja saya tidak lihat ada asbak. Melihat itu dia panggil Ase tadi, "bawakan asbak". Saya mulai omong, tapi bukan omong tentang sepak bola di Kisol, melainkan omong dan mohon, " supaya dengan kekuasaan Uskupnya Mgr.Huber, memerintahkan pastor paroki Rangga, paroki tempat saya masih esde dulu, supaya beri sakramen kawin dan sakramen baptis kepada 20an umat di situ. Puluhan tahun mereja tak terlatani karena ada masalah tanah dengan Gereja pada masa Uskup sebelumnya. Kemarin saya sudah ketemu pastor paroki, tapi dia suruh saya ketemu Uskup. Saya datang dari Denpasar, antara lain untuk urus ini. Meskipun saya balon bupati Mabar ( sambil saya senyum), tapi saya tidak butuh suara hanya 20an orang itu untuk saya bisa lolos jadi cabub, apalagi jadi bupati, hehe... serius !".

Dia menghela nafas panjang. Hirup udara. Saya boleh pastikan beliau hirup udara dari Roh Kudus, 99%. Wajah serius beliaunya. Beberapa detik jeda. Saya hirup udara juga, tapi isap asap rokok Sampurna. Udara Roh Kudus 1%, sisanya roh siswa esempe Seminari Kisol dulu.
"Yah... Kraeng Jon, nanti saya kasitau Pastor Paroki Rangga, Lembor".

Saya lega. Berarti permohonan saya dikabulkan. Lalu saya pamit, tidak lupa minta Ase tadi untuk ambel foto kami dua berdiri di halaman depan ruang tamu istana keuskupan. Gaya imus (senyum). Saya imus menang, dia imus apakah karena tulus atau terpaksa, Roh Kudus saja yg tahu. Hehe... !

Puji Tuhan, sekitar 3(tiga) bulan kemudian, Pastor Paroki Wa saya ke Bali, bahwa umat itu akan segera dilayani sakramen. Saya gembira sekali.

Tiba saatnya umat itu diberikan sakramen kawin, tanggal dan bulannya. Sakaligus  sakramen baptis, sakramen Mahakudus.

Pas hari H, saya dan istri hadir, datang dari Denpasar.  Biaya sendiri. Masuk dalam perut burung besi "Pesawat Wings Air" , dimuntahkan dari perut burung besi itu di bandara Komodo. Lalu kami dua naik otto colt, duduk di bangku kayu, di kaki ada karung beras, di atas kap otto ada karung ubi singkong dan babi yang terus bersuara uekueek. Perjalanan 3(tiga) jam. 

Turun persis di Rangga, terus ke gedung gereja paroki Rangga, duduk di pojok kiri belakang. Bapak balon Bupati Mabar dan nyonya Balon duduk terharu di pojok gedung gereja itu, menyaksikan pasangan nikah massal, baptisan anak2 pasangan itu, lagu2 pujian merdu dalam bahasa Manggarai. Sukacita. Umat Woe Anakrona (keluarga pihak suami dan istri) pasangan memenuhi Gereja.

Umat tidak tahu kami. Bapa Balon dan Nyonya Balon pecah balon 2(dua) karena netes air mata bahagia menyaksikan sesama yang bahagia dalam Tuhan itu. Dua balon ini kus (pecah lemes) karena kami dua baku pelok, bau ketek terasa rexona, cinta makin mesra, bukan lagi dua tapi satu lengket sekali. Kelengketan itu sampai hari ini, saat menulis kisah ini.

Setelah itu saya WA Mgr Huber Leteng untuk mengucapkan terimakasih. "Dia hanya jawab singkat, "Puji Tuhan Kraeng Jon, semoga hidup mereka terberkati. Doaku dan berkat Tuhan untuk Kraeng Jon sekeluarga".

Dalam perjalanan waktu, bliau tidak lagi Uskup Ruteng. Saya dapat informasi dari dia melalui chat WA, bahwa dia berada di wilayah Keuskupan Bandung. Dia bukan Uskup (Kepala Dioses) tapi sebagai imam katolik biasa. Predikat Monsiegneur tetap melekat pada pribadinya, karena itu adalah tahbisan yang melekat.

Hampir setiap Natal & Tahun baru serta Paskah, bliau mengirim pesan Wa. Tentu bukan hanya saya, karena hampir pasti ia chat kepada semua orang yang dia kenal, setidaknya sesama yang berkesan.

Bliau sudah meninggal hari ini. Meninggal dan Meninggakan itu beda menurut saya. Meninggal (requiest) artinya tidak hidup lagi raganya. Tidak bisa berjumpa lagi untuk ngobrol, jarinya sudah tidak bisa lagi pencet HP untuk chat WA kepada siapapun.

img-20220731-wa0083-62e6324208a8b513c731a9c2.jpg
img-20220731-wa0083-62e6324208a8b513c731a9c2.jpg
Meninggalkan, artinya antara lain hp-nya ditinggalkan, sahabat dan temannya ditinggalkan, semuanya ditinggalkan. Kalau "meninggalkan" berarti ada sesuatu yang pergi to? Nah, apa itu? Adalah jiwanya. Kemana? ke Pemilik kehidupan, Sang Pencipta. Dimana Sang Pencipta itu? di Sorga. 

Tak ada manusia sempurna. Itu juga ada pada manusia Hubertus Leteng. Karena itu tepatlah kabar WA dari Profesor DR. Frans Borgias, guru besar Theologi di Bandung, putra asal paroki Rangga, Lembor, "mohon doa".

Kesa Umbek, saya ucapkan untuk jiwamu, "selamat menuju ke hadapan Sang Pencipta !". Maafkan kami yang cukup tajam mengritikmu baik waktu sama-sama di Alma Mater Seminari Kisol maupun saat kesa jadi Uskup. Kesa tahu persislah, bahwa kami mengkritikmu karena le momang (kasih sayang), tidak ada diluar itu.

Apakah jenazahnya dimakamkan di Manggarai? Saya pribadi tidak mempunyai kemampuan finansial saat ini untuk datang ke Bandung, atau memuat jenazahnya untuk dimakamkan di Manggarai. Biasanya jika sebagai anggota keluarga, orang Manggarai pingin jenazah anggota keluarganya dikuburkan di kampung atau setidaknya di Manggarai. Tetapi keluarga juga memaklumi untuk dimakamkan dimana saja oleh Gereja, karena " sudah mereka beri putranya kepada Gereja, kepada karya khusus Tuhan". Karena itu terserah Gereja mau makamkan dimana saja.

"Tak ada gading yang tak retak. Walau dosa manusia hitam seperti pantat panci, tapi jika bertobat semasa hidup di dunia dan diampuni Tuhan, maka jiwanya putih seperti kapas". Karena itu "mohon doa"nya.

Sekali lagi, Kesa Umbek, saya ucapkan untuk jiwamu, "selamat menuju ke hadapan Sang Pencipta !". Dari kami salah satu sesamamu alumni Seminari Kisol. Doakan kami yang masih berziarah di dunia bila Umbek sudah berada di surga abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun