Mohon tunggu...
Jon Kadis
Jon Kadis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Hobby baca, tulis opini hukum dan politik, sosial budaya.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Seruput Kopi Pengalaman Seorang Anak NTT di Rantauan, Modal Nekat!

29 Januari 2022   18:53 Diperbarui: 30 Januari 2022   13:25 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muara para perantau di dalam negri Indonesia adalah kota. Istilah kerennya adalah urbanisasi. Alasannya, pertama, di kota banyak peluang kerja. Kedua, di sana banyak perguruan tinggi tempat untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Denpasar, Makasar dan seterusnya, menjadi tujuan para perantau. Biasanya kalau sudah sukses di sana, barulah ia balik tinggal di desa. Atau mentok mencari peluang, lalu pulang kampung. Oleh karena itu tidak heran kalau banyak paguyuban perantau di kota. Ada yang berdasarkan propinsi asal, kabupaten, kecamatan bahkan hingga desa. Kadang terkesan semacam "memindahkan lokasi asal", karena perkumpulannya homogen sedaerah asal, tidak ada relasi baru dalam pergaulan dengan sesama dari daerah lain. 

Saya salah satu dari para perantau itu adalah dari Flores, NTT. Tujuan utama adalah kuliah, sisanya cari kerja. Orang Flores, NTT, kebanyakan miskin. Termasuk ortu saya di dalamnya. Ya ada juga sih yang kaya, tapi sedikit sekali. Tapi ortu nekat agar anak-anak mengalami perubahan hidup. Juga si anak sendiri nekat. Nyali untuk berubah tinggi.

Saya termasuk nekat pergi keluar daerah, kuliah. Di Denpasar, Bali. Demi memenuhi kebutuhan harian dan uang kuliah, maka saya kerja paruh waktu, kerja apa saja yang halal. Nyawa kadang di ujung tanduk dalam 'pertarungan'. Makan tiga(3) kali sehari itu mimpi. Ada yang berbelaskasihan. Para penolong ini baik-baik, dan umumnya mereka iklas. Mereka berpesan, 'jangan sebut nama saya karena bantuan ini, doakan saja supaya saya sehat'.

Tapi dalam otak tetap konsisten pada tujuan awal saat meninggalkan kampung halaman, 'saya harus tamat, dapat ilmu, dan dengan ilmu itu nanti saya hidup'. 

Dari sharing beberapa teman perantau yang kuliah, rata-rata punya pengalaman pahit dalam masing-masing versi dan tempat.
Tapi di kampus, ketika seminar, diskusi, tak mengenal diri miskin ketika berbicara. Standar sama, yaitu sama-sama punya otak. Nalar tidak diukur karena kaya atau miskin. Kadang dapat beasiswa 1-2 tahun, lumayan buat beli buku dan lain-lain. Saya bersyukur pernah mendapatkannya.

Tapi tidak semua perantau kuliah mengalami pengalaman pahit. Ads yang mulus-mulus saja. Tapi solidaritas sesama perantau tetap tinggi. Saling membantu ketika amat lapar.

Beberapa tahun selagi kuliah saya kerja  sore di satu bar & restoran yang gabung losmen kelas pinggiran di kawasan Kuta, Bali. Menjadi kasir karena dilihat bisa bahasa Inggris. Tapi kerjanya all round. Jadi pelayan. Ngepel, beresin bantu koki di dapur, room boy. Tugas utama saya adalah sebagai kasir. Tamu bule banyak, kebanyakan kaum muda, bergroup, sendirian maupun yang berbulan madu. Di kawasan Kuta itu umumnya disukai oleh tourist kaum Inggris, Australia, Amerika. Sedangkan di kawasan timurnya, pantai Sanur, lebih disukai tourist orangtua dari Eropa daratan, Timur Tengah.

Kira-kira selama seminggu saya kerja paruh waktu di situ, ada yang menarik perhatian saya. Hampir tiap hari ada sepasang kekasih bule Inggris mampir di bar. Rupanya merela sedang honey moon. Tampak mesra dan sopan, tidak huahaha seperti tourist muda lainnya. Mereka tidak banyak bicara. Lebih banyak senyum ketika diajak ngobrol oleh sesama bulenya. Mereka sopan. Kulit mereka jadi coklat bahkan ada bagian terkelupas karena jemuran di pantai Kuta. Saya mendapat cerita dari buku tourits, bahwa jika ada bule dengan kulit jadi coklat begitu, pada umumnya orang kaya dari negrinya. Umumnya mereka memesan minuman mahal. Tapi pasangan itu biasa-biasa saja, minuman yang dipesan adalah khas bar kami, yaitu LIT (Long Island Tea). Sesekali whisky black label yang mahal kala itu, serta jenis minuman impor yang harga sebotol melebihi gaji saya sebulan. Selain minum, kadamg mereka pesan makanan.

Yang lebih menarik perhatian saya lagi adalah, teman-teman tamu bule yang baru kenalan dengan mereka di situ, atau mungkin teman lamanya, bayarin minuman untuk mereka. Sering. Bule teman mereka itu datang ke meja kasir saya, "This one I pay for my bill, and this one I pay for that couple. But please don't tell them that I've paid. Just say, that someone has given you thanks. Thanks giving". Dalam dollar maupun rupiah. Ada lebihnya, siapa tahu mereka masih pesan lagi minuman di situ. "Thank you, are they your good friend?" tanya saya. "No, they're nice people, speak politely to everyone here. I just meet them here" jawab mereka. Setelah bayar, dia pergi, 'say hi saja' sama couple itu. Atau kadang mereka pergi tanpa pamit. Tampaknya bule yang membayari mereka mendapat sesuatu yang smart di kebisingan area pariwisata. Atau juga mereka jarang dapatkan di negri asalnya.

Tiba saatnya pasangan itu datang ke kasir, bayar. Lalu saya bilang, 'someone has paid for you as their thanks". Why? Saya jawab, "they just say cz you are nice people!". Mereka heran! Senyum saling memandang keduanya. Sejenak mereka diam. Tapi mereka mau melihat billnya, "excuse me, where's my bill?. Lalu istrinya yang cantik sexy itu membuka dompet, masukkan dollar ke saku baju saya, "This'is our thanks for you!". Saya tolak dengan sopan, "No, I just do my best for you, and I've got mine, sallary of my boss monthly, it's enough". Tangannya masih di saku saya. Apa reaksinya?, "No, cz you're nice people", sambil senyum, terasa dia pung rempa lime kowik di sa pung dada! (Bahasa daerah Manggarai, "terasa jemari lentiknya colek di dada saya, dan give me kissing to my pacu (pipi). Terasa buah pepaya'nempel di bahu lengan atas saya. Uiih... Saya kesetrom. Busyeeet! Lalu mereka pergi bergandengan mesra menghilang di kegelapan malam pantai Kuta. Seperti biasanya, tip tiap tiap malam kami kumpulkan untuk dibagi sama rata dengan sesama karyawan bar. 

"Bahasa yg sopan dan benar selalu membuka pintu rezeki di alam semesta, tanpa tangan kita membukanya", itu pesan yang saya timba waktu itu, tersimpan hingga kini. Tapi dalam perjalan selanjutnya tidak semulus itu. Bahasa yang benar tentang kebenaran tak luput dari salah sangka bahkan dihina. Tak apalah. Senyum saja agar hati tetap bebas di arungan alam semesta kehidupan ini. Sukses di depan menunggu soalnya! Serta ditunggu sesama yang perlu dilayani. 

Dalam perjalanan waktu saat kerja paruh waktu saat kuliah itu, pada akhirnya saya selesaikan kuliah S1 di fakultas hukum di Universitas Udayana.

Ketika Pak Johny G.Plate asal Manggarai Flores itu tatap muka dengan perantau Flobamora di Bali beberapa tahun lalu ketika pertama kali bliau mau maju DPR RI, yang kini sudah menjadi salah satu Mentri Presiden Jokowi, ternyata ia mengatakan pengalaman perantauan yang hampir sama, lokus di Jakarta. Bahkan terkesan ia lebih fight dalam kegetiran perjuangan di rantauan Ibukota. Saya ingat perkataannya, "kita merantau harus berhasil, tapi dalam tutur bahasa yg sopan dan benar. Pakai otak dan hati. Saya ini sudah pernah tidur di lantai tanpa alas koran. Sudah biasa. Tuhan menciptakan otak manusia sama saja. Bagi kita perantau yang miskin tapi nekat dari NTT, modal utama kita adalah kejujuran dan doa! Saya begini tidak tiba-tiba begini. Kini hidup saya mau berbagi untuk sesama. Biasa-biasa saja! Tutur bahasa budaya kita yamg betnilai tinggi jangan diabaikan seperti peribahasa bagai kacang lupa kulitnya. Jangan!".

Ucapannya itu mendapat applaus yang panjang dari 500an hadirin perantai di aula hotel Denpasar Timur waktu itu. Apa yang dia capai sekarang, yaitu dipercayakan untuk membantu Presiden melayani bangsa, hal yang biasa saja baginya. Itu hal yang amat patut kita bangga.

Menjadi sukses itu tidak muncul secara tiba-tiba, tapi dengan perjuangan. Perjuangan dari lantai dasar itu yang jarang diketahui org. Tidak dengan menghina orang dengan kata-kata yang tidak sopan, tapi dengan menghormati sesama dengan bahasa yang sopan. Dan jangan pernah melupakan siapa-siapa yang membantu kita pada saat kritis, meski mereka berkata 'lupakan kami', karena saat itu yakinlah, Tuhan ada pada mereka. Dengan itu maka hidup ini sesungguhnya tidak sendiri, tapi ada sebuah kekuatan yang menyertainya. Persolannya adalah bagaimana menemukan kekuatan itu pada sesama. Sepanjang takut kehilangan kasih Sang Pencipta, hampir pasti kekuatan kasih Sang Pencipta itu akan membawa ke jalan yang membahagiakan. Jalan itu simple-simple saja, tapi kadang mulus kadang penuh kerikil tajam penuh duri.

Ibarat pengalaman perantauan di atas adalah kopi kehidupan, maka kisah itu saya kasi judul "Seruput Kopi Pengalaman seorang anak NTT di rantauan, modal nekat!", sambil saat ini beneran seruput kopi malam saat hujan gerimis di Labuan Bajo,Flores, NTT, menjelang akhir bulan Januari 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun