Menjelang pelaksanaan ujian SNMPTN para joki mulai menggencarkan aksinya. Mereka mulai begreliya mencari para pengguna jasa (pasien) Mei sampai menjelang pelaksaan ujian. Caranya bisa melalui broker, mereka yang menjual soal latihan SNMPTN yang biasanya ada di sekitar tempat pendaftaran. Broker inilah yang nanti mengarahkan pasien untuk menemui makelar. Makelar adalah sebutan untuk mereka yang berhubungan langsung dengan pasien yang akan menjelaskan tentang sistem perjokian, tawar-menawar harga dan yang akan mengatur pemberian jawaban soal saat ujian berlangsung nanti.
Ada juga sistem rektut pasien melalui lembaga bimbingan belajar. Ada beberapa bimbingan belajar, seperti pengakuan para joki, yang memberikan jasa perjokian. Jasa yang mereka tawarkan tentunya dengan biaya selangit. Namun sistem pembayarannya tidak harus di muka seluruhnya, bisa setelah pasien lulus di fakultas sesuai dengan pilihannya. Selain itu, ada juga joki yang "bertarung" sendiri untuk mendapatkan pasien dan kemudian mengurus sendiri semuanya sampai pengerjaan soal ujian dan memberikan bocoran jawaban kepada pasiennya.
Walau praktek perjokian diharamkan dalam SNMPTN, namun aksi ini tidak bisa diatasi apalagi dihapuskan. Seketat apapun pengawasan, masih tetap leluasa para joki beraksi. Hal ini sangat berhubungan dengan keinginan dan ambisi orangtua yang ingin anaknya lulus di fakultas bergengsi. Bagi mereka yang rata-rata dari golongan atas, uang bukanlah masalah serius. Mereka menilai jika anaknya bisa tembus di fakultas bergengsi seperti kedokteran, ekonomi, keguruan dan hukum di universitas ternama akan memberikan harapan masa depan yang lebih cerah. Tidak hanya itu, prestise yang mereka terima pun akan sanggat mengharumkan dan membanggakan jika anak mereka lulus SNMPT di fakultas favorit pada universitas bergengsi. Karena alasan inilah, para joki seperti mendapat durian runtuh dan mengakali supaya praktek mereka aman dan lancar sehingga pasien yang mereka tolong bisa lulus, dan sudah bisa dipastikan uang jasa yang mereka terima melimpah ruah.
Semua orang bisa menggelengkan kepala sangking takjubnya dengan imbalan yang diterima oleh para joki. Sesuai dengan laporan investigasi Tribun Jogja, terhadap aksi perjokian di Yogyakarta, Semarang, Solo dan Purwokerto, misalnya untuk bisa masuk kedokteran UGM para joki mematok harga sampai Rp 750 juta. Sungguh, ini benar-benar "gila"! Tapi tetap saja ada yang sanggup bayar sebegitu mahal. Biasanya tarif perjokian disesuikan dengan fakultas dan universitasnya, makin bergengsi maka makin tinggi bayaran yang mereka patok. Paling rendah mereka patok 50 juta untuk fakultas tertentu. Tarif selangit ini biasanya dilakukan oleh joki yang tersistematis dan bersama atas nama lembaga bimbingan belajar (baca oknum bimbagan belajar, karena tidak semua bimbingan belajar melakukan hal tercela ini) atau beberapa orang yang bekerja bersama.
Laporan Tribun Jogja sistem perjokian yang mereka lakukan lebih canggih dengan menggunakan handphone. Kalau melalui sms dari HP ke HP terlalu beresiko. HP yang mereka gunakan bukan HP biasa, tapi berbentuk jam tangan yang dipasang headset. Sehingga pasien tidak seperti sedang menggunakan HP. Headset bagi cewek dipasang di kuping yang ditutupi bando atau jilbab. Sedangkan kabelnya diplaster di bangkian tengkuk. Untuk cowok lebih hati-hati, headset diletakan di pundak atau di tangan jika menggunakan kemeja lengan panjang. Dengan cara ini, pasien bisa berkomunikasi dengan untuk memberi tahu kode soal dan meminta jawabannya.
Dalam prakteknya, pasien tidak sendirian menjawab soal. Nanti mereka akan menyebar para joki (disebut master) yang juga ikut ujian. Kemudian hasil jawaban para master tersebut dikumpulkan kepada makelar. Lalu oleh makelar jawaban tersebut dikelompokkan sesuai dengan kode soalnya dan pilihan jawaban yang paling banyak ditulis oleh master. Kemudian makelar inilah yang akan memberikan bocoran jawaban kepada pasien sesuai dengan kode soal mereka. Semua itu dilakukan melalui telepon dan pasien tinggal menyalin kunci jawabannya.
Aksi perjokian dengan HP ini bisa diatasi jika ruangan tempat ujian dipasang alat pengajak sinyal. Namun sepertinya belum ada alat pengacak sinyal yang dipasang di ruangan ujian peserta SNMPTN. Karenanya, aksi perjokian seperti ini akan masih marak.
Pihak pelaksana ujian SNMPTN berjanji akan serius memberangus aksi perjokian ini dengan melakukan pengetatan pengawasan, pemeriksaan berkas kelengkapan peserta termasuk menunjukkan KTP dan ijazah. Mungkin bisa ditambahkan dengan pemeriksaan pada telinga, kuduk pada peserta perempuan (yang tentunya dilakukan oleh petugas pengawas ujian perempuan juga), Â tangan dan bahu bagi peserta laki-laki untuk menelisik mana tahu ada kemungkinan memasang alat komunikasi.
Seharusnya pihak kepolisian proaktif untuk menangkap para otak perjokian karena sudah mengetahui sistem operasional mereka. Hal terpenting adalah dengan memberikan efek jerah sehingga tidak terulang lagi aksi perjokian yang turut mencoreng dunia pendidikan kita.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah adanya kesadaran orangtua untuk memberikan kepercayaan kepada anaknya untuk berjuang tembus SNMPTN dengan kemampuan sendiri. Jika nantinya sang anak tetap lulus dengan cara curang seperti ini dengan bantuan joki, padahal kemampuan intelegensinya tidak memadai pasti akan menimbulkan masalah serius ketika sudah duduk di bangku kuliah. Stigma dan pandangan bahwa kuliah di perguruan tinggi ternama akan memberi harapan masa dengan yang lebih cerah harus diluruskan. Karena banyak juga orang sukses dan jadi milyuner tidak berawal dari bangku kuliah, bahkan di antaranya ada yang tidak kuliah sama sekali.
Mari bersama kita bersihkan nama baik dunia pendidikan Indonesia dari praktek tidak terpuji perjokian. Selamat berjuang adik-adik yang ikut SNMPTN untuk menaklukan soal-soalnya dengan kemampuanmu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H