Mohon tunggu...
Joni Satriawan
Joni Satriawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKPU 8: Menghilangkan Hak Pilih Secara Legal?

31 Mei 2018   01:39 Diperbarui: 31 Mei 2018   02:34 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebanyak 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada 27 Juni 2018 mendatang. Sepanjang proses menuju pelaksanaan pesta demokrasi tersebut tentu terjadi berbagai macam dinamika. Dari proses pencalonan, dukungan partai politik (parpol) hingga berbagai kebijakan/regulasi sebagai rule of game yang harus ditaati oleh peserta pemilu dan warga negara secara keseluruhan.

Sebagai salah satu rule of game pada Pilkada serentak kali ini adalah diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Pasal 7 Ayat 2 PKPU tersebut menegaskan bahwa "Dalam memberikan suara di TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilih menunjukkan formulir Model C6-KWK dan wajib menunjukkan KTP-el atau Surat Keterangan kepada KPPS". 

Kata "wajib" dalam redaksi pasal tersebut bukanlah suatu hal yang bisa ditawar menawar, bersifat mutlak untuk diikuti dan dilaksanakan. Artinya, jika ada warga negara yang tidak memiliki KTP-el atau Surat Keterangan, maka tentu hak politiknya tidak bisa tersalurkan meski yang bersangkutan telah berusia 17 tahun atau lebih dan mendapatkan formulir Model C6-KWK atau undangan dari penyelenggara pemilu untuk datang memilih ke TPS.

Untuk diketahui, sebelum menggeluarkan formulir Model C6-KWK tersebut, KPU melalui Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) terlebih dulu melakukan Pencocokan dan Peneletian (Coklit). Dalam proses coklit tersebut, PPDP mendatangi rumah warga secara door to door untuk mengidentifikasi warga negara yang telah berusia 17 tahun ke atas. 

Apabila di dalam proses coklit tersebut PPDP menemukan adanya warga negara yang berusia 17 tahun ke atas namun belum memegang KTP-el atau Surat Keterangan, maka yang bersangkutan dicatat dan dimasukkan ke dalam Kode 11 (bagi yang sudah melakukan perekaman tapi belum mendapatkan KTP-el atau Surat keterangan) dan kode 12 (bagi yang belum melakukan perekaman sama sekali). 

Tetapi, warga negara yang namanya dimasukkan ke dalam Kode 11 ataupun Kode 12 tetap diberikan formulir C6-KWK, sama dengan warga negara yang telah memegang KTP-el atau Surat keterangan, diberikan formulir C6-KWK untuk mendatangi TPS pada hari H. Namun di TPS, warga negara yang tidak memegang KTP-el atau Surat Keterangan tidak diberikan hak untuk memilih meski mereka telah diberikan formulir C6-KWK.

Hal demikian sekiranya perlu untuk ditinjau kembali. Sebab sangat mungkin dapat membunuh semangat warga negara yang belum memegang KTP-el atau Surat Keterangan. Ingat bahwa warga negara yang belum memegang KTP-el atau Surat Keterangan hingga detik ini belum tentu murni berangkat dari internal pribadi yang bersangkutan. Melainkan bisa jadi dikarenakan oleh ulah elit politik yang telah bertindak jahat melakukan korupsi dana KTP-el, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan warga negara dan berujung pada kendornya kemauan mereka untuk membuat KTP-el.

Terlebih, jika mengacu pada Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan hak warga negara. Salah satu hak warga negara yang diatur adalah hak turut serta dalam pemerintahan. Maksud dari hak tersebut negara secara nyata memberikan pengakuan kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan, yakni adanya hak politik yang meliputi hak memilih dan dipilih. 

Hak memberikan suara atau memilih merupakan basic right atau hak dasar setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Ketentuan mengenai ini, diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945. Perumusan sejumlah pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskirminasi. Ketentuan UUD 1945 di atas mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), baik itu Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. 

Makna dari ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu, khususnya mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya. Menurut ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 23 ayat (1) menegaskan bahwa "Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya". Lebih lanjut pada pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Kedua ketentuan pasal tersebut jelas menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga negara Indonesia itu sendiri untuk melaksanakan hak memilihnya.

Jika mengacu pada hal tersebut di atas, maka syarat memilih pada Pilkada yang diatur oleh PKPU Nomor 8 Tahun 2018 adalah bentuk diskriminasi. PKPU tersebut terkesan sebagai instrumen yang dibuat untuk menghilangkan hak pilih secara legal. Aneh dan janggal, PKPU ini dibuat oleh KPU, sementara lembaga yang melakukan pencoklitan adalah KPU sendiri melalui PPDP yang dibentuknya. Entah hal ini sengaja dilakukan ataukah KPU telah kehilangan kepercayaan diri terhadap tugas yang telah dijalankannya sendiri (hasil coklit), wallahualam bissawab. Namun yang pasti, PKPU tersebut menunjukkan bahwa KPU lebih mengedepankan hal yang bersifat administratif daripada hak warga negara. (*)
Penulis adalah Biro Politik dan Kebijakan Publik PB PMII Masa Khidmat 2017-2019 / Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Publik Universitas Nasional, Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun