JANGAN MEROBEK CINTA DI KOJA ROBEK
Oleh: Yohanes Joni Liwu, S.Pd
Kisah pilu warga terdampak erupsi GL ( Gunung Lewotobi ) selalu saja membekas. Setidaknya ribuan warga yang hari --hari ini selalu mendapat donasi dari tiap orang berhati baik di republik ini. Mereka mungkin saja tidak berkekurangan sandang dan pangan, tetapi soal kelayakan menghuni tenda-tenda darurat menjadi masalah. Bebarapa warga di pengungsian terlihat kerepotan menghindari genangan air dalam tenda pengungsian. Musim penghujan di akhir-akhir bulan ini dapat pula menjadi " bencana" bagi mereka. Belum lagi bagi sejumlah pasien. Ini tentu menjadi PR baru bagi pemerintah sebelum merka direlokasi. Betapa hari-hari ini mereka masih melitani kidung sendu menatap hari-hari jelang akhir tahun. Bukan tidak mungkin kepedihan hati semakin menjadi jelang masa-masa adven hingga Natal.
Hal lain yang sedang hangat dibicarakan yakni soal relokasi warga terdampak.Ini tentu menjadi sangat penting karena hunian mereka sekarang itu sementara ( Huntara ). Warga membutuhkan kepastian untuk direlokasi. Sebagamana diketahui, warga diberi pilihan untuk mengikuti relokasi terpadu atau mandiri.Bahkan pada surat pernyataan, warga juga diberi pilihan untuk tidak memilih direlokasi ( entah terpadu maupun mandiri ) dengan beberapa konsekuensi. Termasuk siap menerima resiko dan tidak menuntut kepada pemerintah daerah jika di kemudian hari terjadi erupsi GL laki-laki. Adanya plihan ketiga tentu karena alasan-alasan tertentu.Meski demikian, sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah warga yang memilih opsi yang ketiga ini.
Salah satu desa di Kecamatan Wulanggitang yang direlokasi adalah Desa Nawukote. Hampir seluruh bangunan perumahan warga rusak berat. Menurut penuturan warga, bencana letusan GL ini sungguh tragis. Penduduk tak berdaya melihat puing-puing rumahnya. Sungguh kenyataan pahit yang mesti ditelan. Meski demikian, hampir seluruh warga bersedia direlokasi. Salah satu tempat yang yang menjadi pilihan adalah wilayah Koja Robe, yang terletak di wilayah Desa Hewa, Kecamatan Wulangitang. Menurut kepala Desa Hewa, Maria Petronela Herenggeka Niron, dalam percakapan dengan penulis ( Selasa, 19/11), warga di desa Hewa yakni tuan tanah Suku Widin dan pemilik tanah ulayat di wilayah Koja Robek telah mengetahui rencana tersebut. Mereka bahkan telah bersepakat untuk memberikan wlayah itu atas dasar kemanusiaan dan persaudaraan. Pertimbangan lain, wilayah Koja Robek berdekatan dengan Desa Nawokote, desa terdampak erupsi. Hal yang memudahkan warga untuk kemudian bisa bertani atau berkebun di desanya semula.
"Tidak jauh dengan desanya semula " demikian, Erna, kepala Desa Hewa menjelaskan.
Tentang pilihan wilayah Koja Robek itu telah dibicarakan dalam rapat bersama dengan Pemerintah Kabupaten Flores Timur dan instansi terkait.Ia berharap pemerintah secepatnya melakukan survei dan selanjutnya membangun perumahan bagi warga terdampak. Lebih lanjut Erna menjelaskan jika wilayah itu sangat strategis karena berdekatan dengan sungai yang mengalir sepanjang musim.
Meski diakui kepala Desa Hewa bahwa tuan tanah Koja Robek telah mengikhlaskan tanahnya sebagai area pemukiman, tetapi harus dibicarakan dengan baik. Dengan baik dalam artian, pemerintah daerah mesti bijak menyikapi hal ini. Mesti diketahui, tanah sejengkal kadang menjadi masalah besar di kemudia hari.
" Oke lah, untuk kondisi sekarang, tetapi belum tentu di kemudian hari," jelas Kristofotus Uran, warga Desa Hewa.
Orang Hewa sangat mengenal kondisi tanah di Wilayah Koja Robek yang sangat cocok untuk perkebunan. Itu berarti tanah tersebut merupakan lahan produktif. Jika lahan tersebut kemudian telah menjadi perkampungan, bukan tidak mungkin pemilik tanah ulayat disekitar Kojak Robek akan mulai memperhitungkan harga tanah tiap jengkalnya.
" Agar tidak terjadi benturan di kemudian hari, maka hal-hal kecil seperti ini mesti dipikirkan dan disepakati bersama. Termasuk membicarakan batas tanah untuk wilayah relokasi sehingga tidak terjadi pencaplokan tanah di kemudian hari.Konflik tentang tanah itu biasanya berbuntut panjang. Kita tentu tidak ingin konflik soal tanah akan terjadi di kemudian hari," lanjut Rus Uran demikian, Kristoforus sering disapa.