Mohon tunggu...
Joni Daud
Joni Daud Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Domba Hitam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Bapak Pembangunan

22 September 2016   20:55 Diperbarui: 22 September 2016   21:04 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kompas.com edisi Kamis, 28 Januari 2016 menuliskan bahwa Soeharto adalah Bapak Pembangunan Orde Baru Indonesia. “Dia dianggap berhasil membangun Indonesua dari segi infrastruktur. Dan berbagai kebijakan dia ciptakan agar roda pembangunan terus berjalan. Konsep pembangunan Soeharto dilandaskan pada stabilitas dan kekuasaan yang kuat. Dengan begitu program pembangunan lima tahun terus berjalan.”

Atau pun ketika kita mencari dimesin pencari Google, dengan mengetik “Bapak Pembangunan” tentu kita akan menemukan bannyak sekali artikel tentang Bapak Soeharto selaku presiden kedua Indonesia masa Orde Baru. Selaku pengambil kebijakan utama dalam negeri, pemberian gelar Bapak Pembangunan bagi mantan presiden Indonesia kedua itu menuai pro dan kontra. Dan tentu kita mengambil pilihan tersebut apakah pro atau kontra.

Tapi disini saya tidak membahas Bapak Soeharto. Tapi yang ingin saya tekankan didalam tulisan ini adalah gelar dari “Bapak Pembangunan”.

Menurut Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam adalah tidak lazim jika seseorang memberikan gelar kepada dirinya sendiri. Bahkan Presiden Soeharto dianugerahi gelar tersebut melalui Tap MPR tahun 1983 memberi Gelar Bapak Pembangunan bagi Presiden Soeharto dengan pertimbangan lainnya.

Memberi Gelar Sendiri?

Pemberian gelar bagi diri sendiri sebenarnya cukup ironis bagi seorang penjabat publik, dan ternyata saya temui hal tersebut di daerah Bangka Belitung. Memberikan gelar Bapak Pembangunan di baliho Pilkada adalah hal yang memang sebenarnya patut dipertanyakan.

Darimana gelar tersebut berasal?

Apa yang telah ia perbuat sehingga menganugerahi diri sendiri dengan gelar tersebut?

Walaupun menerima Maha Karya Pembangunan dari Gubernur terdahulu, tapi belum tentu serta merta akan memberikan gelar Bapak Pembangunan dibawah namanya. Atau pemberian gelar lainnya yang memang terkesan aneh dan kurang pas.

Misalkan ketika pemimpin daerah sedang berkunjung kedaerah yang tidak dialiri listrik, dan memerintahkan PLN untuk segera mengaliri daerah tersebut dengan listrik tidak serta merta digelari dengan gelar Bapak Penerangan. Karena memang sudah menjadi tugas penjabat publik untuk melakukannya.

Profit Oriented dan Non-Profit Oriented

Mochtar Riady sebagai pendiri dari Grup Lippo di Indonesia tentu kita semua mengetahui kiprah beliau dalam berbisnis. Ia mendirikan Siloam Hospital, UPH, Property dan Institut Penelitian Kanker tidak serta merta diberi gelar Bapak Pembangunan disuatu daerah. Tentu hal ini harus dimengerti karena beliau adalah seorang pebisnis yang mampu membaca peluang usaha dengan mendirikan rumah sakit Siloam Hospital. Dan hal itu tidak terlepas Profit Oriented beliau dalam berbisnis. Mungkin hanya julukan Dewa Manajemen Perbankan yang melekat pada beliau semasa kepemimpinannya diberbagai perbankan nasional. 

Membangun rumah sakit, perhotelan, plaza dan pabrik tidak serta merta juga mendapat gelar bapak pembangunan, tentu karena hal tersebut seorang individu pebisnis adalah Profit Oriented. Dalam hal ini pemilik modal tentu tidak hanya ingin investasinya Non-Profit Oriented, bagaimana mungkin secara logika, pebisnis mau merelakan uangnya begitu saja untuk investasi yang tidak Profit Oriented. Tentu ada timbal balik dari nilai investasinya yaitu LABA.

Jika memang pemberia gelar Bapak Pembangunan jika dipersempit lagi didaerah, hal tersebut juga tidak akan mudah diterima oleh logika. Bagaimana mungkin seorang yang menjabat sebagai penjabat publik baru dua tahun bisa dengan bangganya menaruh gelar Bapak Pembangunan dibawah balihonya. Bapak SBY pun belum tentu yang membangun lebih banyak tidak akan menaruh gelar tersebut dalam waktu dekat, atau Bapak Jokowi yang mengejar percepatan pembangunan infrastruktur tidak akan menganugerahi diri sendiri dengan gelar Bapak Pembangunan. Dan tentu organisasi lainnya tidak akan sembarangan memberi gelar jika ditelusuri lebih dalam harus dengan banyak pertimbangan juga.

Semua Karena Pilkada

Menjelang Pilkada 2017 banyak politikus memanfaatkan momen ini untuk menarik simpati masyarakat. Dan kita akan menemui banyak embel-embel dari para tokoh. Sehingga memang dari politikus tersebut hanya ingin mengambil keuntungan dari momen ini. kita berharap juga bisa memperhatikan etika dalam berkampanye sehingga tidak menjadi bahan olokan dimasyarakat tentang calon-calon tersebut.

Tentang memilih calon pemimpin daerah kita memang harus hati-hati dan teliti. Karena memang pasti ada calon yang hanya mengincar kekuasaan untuk melengkapi profil diri di Wikipedia. Sebenarnya hampir sulit dijaman sekarang ini untuk memilih pemimpin yang memang bersih, professional dan transparan.

Karena apa? Mungkin ada beberapa politisi yang hanya Profit Oriented, menjadikan jabatan publik sebagai mesin pencari LABA. Padahal tugas mereka adalah melayani, bukan pencari LABA. Dan penjabat publik/politisi mempunyai biaya politik yang mahal. Semoga saja tidak Profit Oriented.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun