Mohon tunggu...
Jon Hardi
Jon Hardi Mohon Tunggu... Pengacara - ADVOKAT

Alumnus Fak. Hukum Univ. Andalas Padang lulus 1990.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Untuk Apa Jadi Pemimpin?

14 November 2022   14:04 Diperbarui: 14 November 2022   14:06 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

UNTUK APA JADI PEMIMPIN?

Oleh : Jon Hardi

Pemilihan presiden (pilpres) masih 2 tahun lagi, persisnya tahun 2024. Tapi gemanya sudah terasa dari awal 2022 ini. Suasana terkesan panas. Labih panas lagi Ketika Anies Rasyid Baswedan dinobatkan oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai bakal calon presiden dari Nasdem. Energi, konsentrasi, plus emosi sudah tercurah ke pilpres ini, sampai-sampai sisa masa jabatan Presiden Joko Widodo yang 2 tahun lagi jadi kurang bergema.

Selain pilpres, pemilihan kepala daerah (pilkada) juga tidak kalah ramainya. Dari pemilihan gubernur, wlikota/bupati, bahkan sampai kepala desa) hamper selalu meningkatkan suhu politik dan sosial. Pemilihan ketua partai politik (parpol), ketua organisasi massa (ormas) tidak jauh beda.

Bagi sebagian orang yang "haus" kekuasaan, rekrutasi pemimpin bukan lagi "pemilihan pemimpin", yang lebih berkonotasi pada kehendak golongan yang dipimpin, tapi lebih bermakna "perebutan kekuasaan". Kekuasaan yang harus diperoleh dengan berbagai cara, misalnya dengan pengorbanan materi yang tidak sedikit, pelanggaran moral dan etika, sampai pelanggaran hukum. Yang penting kekuasaan harus diraih. Akhirnya, kepimpinan jadi kehilangan makna hakiki, karena tertutup oleh jargon-jargon lips service, janji-janji semu dan kebohongan brutal.

Motivasi Jadi Pemimpin

Lantas, untuk apa orang mau jadi pemimpin? Bukankan memimpin itu menguras waktu, energi dan emosi? Bukankan memimpin itu dapat mengorbankan diri sendiri atau keluarga?

Penyakit Megalomania

Bagi sebagian orang, menjadi pemimpin bisa jadi manifestasi dari penyakit megalomania yang diidapnya. Pemimpin berarti kekuasaan, dan kekuasaan berarti segala-galanya. Pemimpin itu menguasai banyak orang, menentukan nasib orang. Pemimpin kadangkala mengidentikkan dirinya sebagai wakil Tuhan, atau ada juga yang mengaku Tuhan, seperti Raja Namruz dan Raja Fir'aun, yang merasa memiliki izin untuk menentukan hidup matinya seseorang.

Dunia telah mencatat pemimpin tipe ini, diktator yang menghiasi kekuasaannya dengan kubangan darah dan danau air mata. Sebut saja Hitler, Mustafa Kemal Attaturk, dan Musollini. Saat ini masih terdapat pemimpin dengan kekuasaan absolut, seperti Kim Jong Un, presiden Koera Utara.

Al Quran telah mencatatkan contoh pemimpin yang tidak adil (zalim) yang sudah disediakan tempat di neraka paling bawah. Sebut saja Raja Namruz yang berkuasa di zaman Nabi Ibrahim A.S., Raja Fir'aun (Ramses II) yang berkuasa di zaman Nabi Musa A.S., dan Raja Herodes yang berkuasa di zaman Nabi Zakaria A.S.

Di Indonesia, sebagai negara yang demokratis, pemimpin yang mengidap penyakit megalomania tidak mungkin tersalurkan. Begitu banyak batasan bagi suatu jabatan, baik dari masa jabatan, kewenangan maupun sistim pengawasan dan pertanggungjawaban. Begitu banyak lembaga yang mengawasinya, mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPS), lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan (tentu saja) rakyat. Jadi kalau punya penyakit megalomania, jangan bermimpi jadi pemimpin di Indonesia, kecuali jadi raja hutan.

Demi Harta?

Ada yang menjadi pemimpin demi harta, karena jabatan memudahkan meraih lebih banyak harta. Pemimpin wajib kaya agar dihormati khalayak. Punya jabatan tapi tidak punya harta adalah aib, terhina. Di zaman feodal, raja hidup mewah dan melimpah, tidak peduli rakyatnya bisa makan atau tidak.

Dulu, menjadi pemimpin di Indonesia seolah sudah memiliki tiket untuk menjadi kaya raya. Dari upeti atas perizinan yang dikeluarkannya, menjadi backing pengusaha hitam, korupsi uang negara, maupun punya bisnis haram. Semua sangat mudah dilakukan dan orang maklum saja, atau tidak bisa berbuat apa-apa.

Tidak heran, demi tujuan ini, orang rela "investasi" miliaran agar jadi pemimpin. Seorang mantan gubernur DKI, agar dpilih untuk kedua kalinya, rela manjual rumah seharga Rp10 miliar untuk "modal", itupun kalah. Seorang mantan calon bupati untuk daerah minus di Sumatera bercerita, dia menghabiskan  Rp7,5 miliar namun kalah. Ada juga yang bercerita, bahwa dia telah menghabiskan Rp2,6 miliar hanya untuk kontestasi internal parpol agar terpilih sebagai calon. Wow. Padahal gaji resmi yang akan diterima jauh dibawahnya.

Tapi sekarang, tidak bisa lagi berharap dapat meraup banyak harta dari menjadi pemimpin. Wakil rakyatnya galak meskipun ada juga yang ditangkap karena maling. KPK tidak kenal ampun, meskipun kesannya sekarang melemah. Kejaksaan rajin mengejar meski anggotanya ikut jadi pesakitan. Kepolisian rajin menggeledah pemimpin yang diduga punya kekayaan dengan cara tidak wajar, meskipun ada pentolannya yang dijebloskan ke penjara karena ketahuan korup.

Demi Wanita? 

Bagi pria, menjadi pemimpin adalah lambang kejantanan. Kejantanan harus disimbolkan dengan dikelilingi banyak wanita, setidak-tidaknya digilai wanita. Ingat slogan 3 TA (Tahta, Harta dan Wanita)? Di zaman dulu Raja boleh punya istri dan selir sebanyak yang dia suka. Bagi pemimpin yang takut punya istri atau selir banyak, setidak-tidaknya punya istri simpanan atau pacar gelap.

Namun sekarang di Indonesia tujuan ini sukar dicapai. Undang-Undang Perkawinan masih menganut asas monogami. Wanitanya sangat sadar emansipasi. Belum lagi, penilaian di masyarakat bahwa punya istri lebih dari satu adalah kenistaan.

Demi Popularitas?

Jadi pemimpin memang enak. Kemana-mana selalu jadi perhatian. Disambut dengan karpet merah, kalungan bunga, tari persembahan. Berjalan, duduk, selalu di depan. Makan selalu didahulukan. Jadi sorotan di mana-mana. Semua mengenalnya.

Tapi zaman sekarang Pemimpin tidak selalu identik dengan ketenaran. Seseorang yang dengan susah payah meraih jabatan bisa jadi kalah polularitas dari seorang artis atau olahragawan. Mana yang lebih populer Menteri Kelautan dan Perikanan dengan artis Amanda Manoppo atau olah ragawan Bambang Pamungkas? Geroge Bush tidak lebih ngetop dari Silvester Stallone atau David Becham. Mungkin followers media sosial Raffi Ahmad lebih banyak dari pada followers media sosialnya Pak Jokowi. Jadi, kalau cuma cari popularitas, tidak perlu ngoyo jadi pemimpin.

Aktualisasi Diri?

Menjadi pemimpin, bisa jadi sebagai aktualisasi diri. Sesuai dengan teori hirarkhi kebutuhan ala Maslow, aktualisasi diri adalah kebutuhan tertinggi manusia. Bagi suatu entitas masyarakat, jadi pemimpin adalah harga diri. Kepala Desa berarti menjadi Jawara di antara seluruh Jawara. Kalah dalam pertarungan pemilihan gubernur berarti menjatuhkan martabat diri, keluarga, kerabat, suku dan golongan.

Mendapat jabatan berarti kemenangan. Kemenangan adalah puncak manifestasi aktualisasi diri. Kalau menang, dirayakan dengan pesta pora, tapi kalau kalah masuk rumah sakit jiwa. Akibatnya orang berlomba-lomba untuk menang, tidak siap untuk kalah.

Kalau sudah begini, untuk apa ada proses pemilihan yang berbiaya mahal, dengan embel-embel langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil? Untuk apa kompetisi yang berakibat pada menang dan kalah? Untuk apa kemana-mana mengusung nama demokrasi?

Jadi Pemimpin Adalah Tugas Mulia

Bagi sedikit orang (jika masih ada), memimpin berarti menerima amanah. Amanah dari Allah, amanah dari umat. Pemimpin yang adil, amanah, dimasukkan Allah ke dalam satu satu dari 7 golongan yang mendapat naungan Allah di Padang Mahsyar. Pemimpin yang adil akan menjadi orang pertama yang  akan masuk surga, tempatnya berdampingan dengan Rasulullah SAW.

Dengan menjadi pemimpin, seseorang punya kesempatan untuk mengajak orang pada kebaikan (amar ma'ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi mangkar) melalui tangan (kekuasannya). Sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah, bahwa jika kita melihat kemungkaran, maka robahlah dengan tangan (kekuasaan), dengan lisan atau diam, dan diam itu adalah selemah-lemah iman.

Dengan menjadi pemimpin yang baik, seseorang bisa meninggalkan peradaban agung suatu kaum/bangsa. Bisa meninggalkan karya-karya monumental yang indah sebagai legacy bagi generasi untuk ratusan tahun mendatang.

Karena memimpin adalah amanah, maka jabatan tidak perlu dikejar, apalagi direbut dengan cara-cara yang tidak wajar. Malah Rasulullah SAW pernah melarang untuk memberikan jabatan kepada orang yang mengejarnya.

Menjadi pemimpin adalah musibah. Pernah seorang Sahabat Rasulullah SAW menggigil ketakutan tatkala ditunjuk menjadi Gubernur oleh Khalifah Umar bin Khatab.  Takut membayangkan azab Allah jika tidak bisa mengemban amanah. Dia lebih suka mengucapkan "innalillahi wa inna ilaihi rojiun (sesungguhnya kita ini dari Allah dan akan kembali keada Allah)" sebagaimana lazimnya diucapkan tatkala dapat musibah.

Tipe pemimpin amanah tidak akan memulai jabatannya dengan berpesta (meskipun dibungkus dengan istilah syukuran), melainkan beristighfar. Bukan bergembira, melainkan cemas, gemetar, rasa takut yang mendalam jika salah menggunakan jabatan.

Pemimpin sejatinya adalah bawahan rakyat. Jika untuk bersenang-senang, dia yang terakhir menikmati. Sebaliknya, jika untuk bersusah payah, dialah yang berada paling depan.

Pemimpin adalah pelayan, seperti Khalifah Umar bin Khatab RA yang pernah memanggul sendiri gandum untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan.

Al Quran telah menceritakan beberapa pemimpin tipe ini, yang sudah disediakan-Nya tempat di surga. Mulai dari Raja/Nabi Daud A.S., Raja/Nabi Sulaiman A.S., Menteri/Nabi Yusuf A.S., Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander Yang Agung), sampai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW juga menceritakan pemimpin setelah beliau yang dijamin Allah masuk surga, yaitu Khulafaurrasyidin (Abu Bakar Shiddq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib).

Pemimpin amanah inilah yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya di Indonesia tercinta ini. Bisakah kita bayangkan, jika butuh pemimpin, sama halnya dengan butuh imam shalat, di mana semua menghindar, bertolak-tolakan, merasa tidak mampu, merasa ada orang lain yang lebih mampu? Kalau seperti ini, maka dalam debat terbuka hanya ada saling memuji dan marekomendasikan lawannya untuk dipilih, bukan saling menghujat. Semoga

Bandung, 14 Nopember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun