Mohon tunggu...
Didot Prakoso
Didot Prakoso Mohon Tunggu... -

"Dengan tulisan anda dapat bercerita kepada dunia, Dengan membaca anda dapat lebih tahu segala hal "\r\n(Didot) \r\n\r\n\r\nSemua karya tulisan bisa dilihat di www.jongjava.weebly.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu Ayah

8 Juni 2012   08:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:15 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

06.11.2011

hari sabtu di penghujung akhir bulan nia akan menerima rapot TK-nya yang pertama. Sehari sebelum penerimaan rapot, telah diadakan pentas seni dan pertunjukan bakat-bakat semua siswa dan siswi TK, tak terkecuali nia. Nia telah berhasil menghipnotis seluruh pengunjung dengan pembacaan doa di awal pertunjukan.

Kali ini nia menerima rapot di dampingi ibu. Suasana bahagia tampak di keduanya selama perjalanan dari rumah menuju sekolah. Beruntung hari belum terlalu macet dan cuaca sangat bersahabat dengan keduanya. Nia yang selalu riang dan cerewet tak henti-hentinya menceritakan tentang perasaannya kemarin ketika pentas akhir tahun ajaran.

Sesampainya di sekolah, mereka berdua langsung menuju ke ruang kelas Nia. Kelas TK matahari, wali kelas telah menunggu kedatangan mereka, tepat berdiri di depan kelas.

"Selamat pagi nia..." Sapa bu guru tina. Tak ada suara yang terucap dari bibir nia, hanya ekpresi malu dan genit. "Kok diem aja? Biasanya nia menyapa..." Saut mama nia.

"Udah sarapan belom?" Tanya ibu guru tina.
"Udah..." Jawab nia.
"Udah sarapan kok lemes? Deg-degan ya? Mau terima rapot" balas bu guru tina, sambil mengedipkan mata ke mamanya nia.

"Mari bu langsung masuk ke kelas, mumpung orang tua murid lainnya belum datang" Ibu guru mempersilahkan mamanya nia, sambil mengandeng tangan nia.

Tak terasa waktu telah berjalan dua puluh menit, nia dan ibunya berada di ruang kelas TK matahari. Ketika pintu kelas dibuka oleh ibu guru tina, tampak beberapa orang tua murid dan anaknya yang telah mengantri di depan kelas.

"Halo nia..." Sapa mamanya vina, teman bermain di kelas matahari sekaligus sahabatnya. "Tuh ada vina... Halo vina..." mamanya nia menyapa balas. "Hai mba lena... Baru datang?" tegur mamanya nia. Para kedua orang tua murid TK matahari sudah saling kenal, biasanya mereka selalu menghabiskan waktu tiga jam di kantin TK untuk menunggu buah hatinya selesai belajar. Tak hanya menunggu, kadang juga merumpi sembari arisan dadakan.

"Iya jeng rina, baru aja sekitar lima menit yang lalu. Berdua aja? Nih..." Tanya lena, mamanya vina, teman sekelasnya nia dan sahabatnya.

"Iya mba... Bapaknya lagi dinas" jawab rina, mamanya nia. "Silahkan lho mba len... kalo mau masuk, aku juga buru-buru, ada arisan keluarga lagi nih"

"Cepet amat... Baru juga ketemu" saut lena, mamanya vina.
"Gampanglah... Besok ato lusa masih bisa kita ketemuan" balas mamanya nia, rina.

"Da nia..."
"Da.. Da.. vina"

Mereka pun melangkah pergi menuju parkiran mobil, seiring menjauhnya langkah dari kelas TK matahari, secepat itu pula vina dan mama-papanya memasuki kelas matahari.

Sesampainya di parkiran nia dan mamanya bertemu dengan orang tua murid yang juga merupakan teman keduanya. Mereka terlibat percakapan singkat, saking singkatnya terkesan basa-basi dan membuang waktu dengan percuma.

Nia dan mamanya pun berlalu... Memasuki mobil sedan empat pintu.

Di tengah perjalanan menuju rumah eyang nia, mamanya tidak bisa menyembunyikan rasa senang dan bahagia. Putri semata wayang nya telah besar, nilai sekolahnya bagus dan semua guru sangat menyukainya. Maklum saja, nia sudah terbiasa mandiri sejak umur 3 tahun. Tidak ada yang menyusahkan selama sekolah dan bermain bersama teman-teman sebayanya.

Ditengah macet jalanan kota jakarta dan teriknya matahari menjelang siang, sempat dipecahkan dengan beberapa pertanyaan yang keluar dari bibir nia.
"Bu... Nia tidak punya bapak ya?"

Astaga... Pikiran apa pula yang telah merasuki putri tercinta? Seperti tersambar petir di siang bolong.
"Koq nia bicara begitu?" Tangan kiri ibu pun ikut mengelus kepala nia. "Nia lupa ya? Kan bapak lagi kerja diluar kota"

"Oiya... Ya.. nia lupa" jawab nia dengan penuh harap agar ayahnya ada disisinya. Mungkin ini sebuah pengalaman yang pertama dalam perjalanan hidupnya, yang seharusnya dapat dihadiri oleh kedua orang tuanya. Saat pentas seni akhir tahun dan penerimaan rapot.

"Nia kangen ama bapak?" Tanya ibu sambil menenangkan pikiran putrinya dan sesekali memajukan kendaraan di tengah macetnya kota jakarta.

"Iya, nia kangen. Tadi disekolah nia liat, semua temen-teman diantar ama bapaknya..."

Ya Tuhan... Tak sanggup ibu menerima sebuah pernyataan polos dari seorang putrinya. Tak sadar, butiran tetes air mata ibu telah mambasahi pipinya. Belum sempat ibu menjawab pertanyaan putrinya....

"Nia kangen bu..."
"Iya... Nanti kalau bapak pulang nia bisa main-main sepuasnya dengan bapak"
"Pulangnya koq lama bu?"
"Sabar donk nia... Kan bapak cari uang buat nia juga"
"Cari uang koq jauh sekali?"

Tak ada kata yang terucap, dalam hati ibu pun berucap. Pintar sekali anak sekarang menjawab setiap pertanyaan dan jawaban, rasanya dulu aku tidak seperti ini. Apa yang harus aku lakukan Tuhan??? Jawaban apa yang harus aku jelaskan pada putri kecil ku ini?

"Nia yang sabar ya... Kan ada ibu, yang selalu ada disamping nia" jawab ibu sambil menenangkan pikiran putrinya dan juga pikiran dirinya.

"Kita cerita yang lain ya? Supaya nia tidak sedih..." Ibu pun sambil menjalankan mobilnya dan berusaha lepas dari kemacetan, langsung menuju pintu masuk tol.

"Nia... Nanti kalau sampe rumah eyang, jangan lupa cerita rapotnya ama yang tadi di sekolah. Nia ketemu siapa aja" kata ibu

"Iya... Nia juga kangen ama eyang. Nia mau cerita yang banyak"

--------------

Selang tiga puluh menit kemudian, tibalah mereka di rumah eyang nia. Nia dan ibunya disambut hangat. Tak terasa keakraban keluarganya telah melupakan sejenak kerinduan seorang putri pada ayahnya. Figur kebapakan yang diridukan dan didambakan.

"...hanya satu pintaku
tuk bercanda dan tertawa
di pangkuan seorang ayah

apa bila ini
hanya sebuah mimpi
ku selalu berharap
dan tak pernah terbangun..."

(Mocca)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun