Mohon tunggu...
Jonathan Febryan
Jonathan Febryan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Jika Anda tidak dapat berkata-kata, Anda masih bisa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bullying atau Pembentukan Karakter ?

8 Maret 2014   19:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu sekolah ada seorang anak laki-laki sebut saja namanya X (disamarkan). Dia adalah anak tunggal dari keluarga yang bisa dibilang berkelebihan. Dia adalah siswa pindahan dari sebuah sekolah. Dia pindah karena katanya dia diperlakukan dengan tidak baik oleh teman-temannya di sekolahnya dulu.

Mungkin karna dia anak pertama jadi sifatnya agak manja. Pergi ke sekolah di antar oleh orang tuanya dan pulang oleh ojek langganan. Bahkan dia tidak diperbolehkan untuk naik angkutan umum oleh orang tuanya atas alasan keselamatan. Orang tua yang terlalu protektif membuatnya terlalu bergantung kepada orang tuanya, semua keputusan hanya atas izin orang tuanya padahal dia sudah SMA dan berusia sekitar 17 tahun-an.

Sifatnya bisa dibilang dia seperti orang yang ‘kurang’, mungkin karena terlalu dimanja oleh orang tuanya, apa-apa selalu bergantung kepada orang tuanya. Cara berbicaranya seperti orang yang banyak tekanan, cepat sekali. Dan dia juga tidak bisa memfokuskan pandangannya, setiap berbicara dengan seseorang dia terlihat gugup. Mungkin ini salah satu kekurangannya.

Di SMA dengan pergaulan yang bisa kita lihat sekarang ini seharusnya bisa membuat dirinya lebih mandiri. Teman-teman di sekolahnya sekarang sering sekali menganggu dia. Tapi dengan alasan yang jelas. Dia memang anak yang ‘kurang’, dan teman-temannya hanya ingin mengubah karakternya saja menjadi lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung dengan orang tuanya. Walaupun hubungan dengan orang tua itu penting, namun sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik.

Hal yang mungkin kurang disukai oleh teman-temannya adalah tidak bisanya ia berkerja dalam suatu kelompok. Karena itu disetiap ada tugas kelompok, pasti hanya dia seorang yang tidak mendapat kelompok. Dan hal lucu yang dia lakukan adalah dia menelepon orang tuanya (khususnya ibunya, karena sepertinya ayahnya tidak menginginkan anaknya terlalu bergantung kepada orang tuanya. Tetapi ibunya terlalu memanjakan anaknya, sehingga anak itu pun tidak pernah merasa dewasa) dan ia mengatakan bahwa tidak ada satupun teman dikelasnya yang mau menerima dia menjadi bagian kelompoknya. Sebenarnya hal yang seharusnya dia lakukan adalah bertanya kepada kelompok yang masih kurang anggotanya dan meminta untuk bergabung. Teman-temannya tidak ada yang mau menerima dia karena dia saja tidak meminta untuk join, dia kira gurunya sudah memasukkannya ke dalam suatu kelompok seakan-akan dia yang punya sekolah itu. Lantas orang tuanya melaporkan ke sekolah. BK pun bertindak dan memanggil teman-temannya sekelas. Suatu hal yang lucu, sebagai seorang anak laki-laki yang sudah jenggotan masih mengadu kepada orang tuanya atas masalah sepele. Dia seperti anak SD yang kecebur got dan menangis di depan orang tuanya.

Hal ini menjadikan teman-teman sekelasnya jengkel kepada dia. Cemoohan-cemoohan dan kata-kata kasar keluar dari mulut teman-temannya, bahkan beberapa laki-laki mengajaknya untuk berkelahi. Bahkan di beberapa kesempatan banyak temannya yang memukuli dia hanya sebatas menjitak kepalanya dan ada juga yang meneriaki dia dengan tusukan-tusukan tajam. Seorang laki-laki 17 tahun tidak berani berkelahi ? Sebuah hal yang memalukan. BK menjadi sibuk semenjak dia masuk ke sekolah itu. Dan BK menjadi tempat singgahnya sepulang sekolah.

Seharusnya dengan keadaan teman-temannya yang seperti itu dia bisa menjadi seorang anak yang tidak sering mengadu dan lebih jantan serta mandiri. Seharusnya seorang anak laki-laki di usia 17 tahun-an sudah bisa merasakan kerasnya hidup dan sudah memiliki gambaran tentang kehidupan di masa mendatang yang lebih keras. Tidak selamanya orang tuanya berada di sisinya, dan tidak selamanya BK ada.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasibnya di kuliah nanti. Senior, dosen, ospek, dan tidak ada BK mungkin bisa membunuhnya secara perlahan. Apalagi kalau dia nanti ngekos. Seharusnya dia bisa belajar dari teman-temannya yang selama ini mengerjainya dan seharusnya dia juga sadar bahwa seorang laki-laki tidak sekudunya mengadu dan menyusahkan orang lain.

Bullying yang dilakukan di sekolah tersebut sebenarnya hanya ingin membuat anak itu menjadi the real man not the real boy. Dan orang tua pun seharusnya sadar bahwa anak di jenjang ini harus diajarkan untuk hidup mandiri dan belajar menyelesaikan masalahnya sendiri dan tidak selalu bergantung kepada orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun