Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Siapkah Indonesia Menerima Kohabitasi?

16 Maret 2024   12:00 Diperbarui: 16 Maret 2024   12:14 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://th-law.co.uk/wp-content/uploads/2022/11/Family-Law-Cohabitation-v-Marriage.png

tidak memiliki Orang Tua, wali, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas ataupun menyamping sampai derajat ketiga, pengaduan dilakukan oleh diri sendiri dan/atau pendamping.

Sementara pasal 26 KUHP menjelaskan :

(1) Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan berada di bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi Korban Tindak Pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.

(2) Dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus.

(3) Dalam hal suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.

Bagaimana Tren Kohabitasi di Indonesia?

Praktik kohabitasi dan kelahiran anak di luar pernikahan (nonmarital childbearing) menjadi fenomena demografi yang semakin umum terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Generasi muda mulai mengalami pergeseran pandangan terhadap relasi dan pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai institusi normatif dengan regulasi yang kompleks.

Dalam studi di tahun 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation 

mengungkap bahwa kohabitasi lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Dari hasil Pendataan Keluarga 2021 (PK21) yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6% penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi. Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal.

Dari studi kasus di Manado, terdapat beberapa sebab pasangan memilih kohabitasi yaitu beban finansial, rumitnya prosedur perceraian, penerimaan sosial

Dari segi finansial, banyak pasangan memilih kohabitasi sebagai alternatif karena mereka belum siap secara finansial untuk menanggung biaya pernikahan. Mereka memilih menunda pernikahan guna mengumpulkan biaya untuk membayar mahar yang besarannya ditentukan oleh status sosial, pendidikan, dan level pekerjaan yang lebih tinggi. Kohabitasi juga dipilih karena pasangan tidak perlu melalui prosedur birokrasi perceraian yang rumit dan mahal ketika memutuskan berpisah. Dalam prosesnya, perceraian membutuhkan banyak biaya, mulai dari biaya perkara, jasa pengacara, hingga pembagian harta gana-gini, hak asuh anak, dan lain-lain. Penerimaan warga setempat terhadap pasangan yang melakukan kohabitasi juga diperlukan seperti halnya di Manado. Penerimaan ini dipengaruhi oleh nilai budaya yang menempatkan hubungan individu di atas formalitas pernikahan, serta faktor ekonomi yang seragam di kalangan masyarakat lokal, yang membuat mereka lebih toleran terhadap praktik kohabitasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun