Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Xenofobia yang Tak Lekang oleh Waktu

14 Maret 2020   01:00 Diperbarui: 17 Maret 2020   16:31 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kiri dikira komunis
Kanan dicap kapitalis
Keras dikatai fasis
Tengah dinilai tak ideologis

Muka klimis katanya necis
Jenggotan dikatai teroris
Bersurban dibilang kearab-araban
Bercelana Levi's di-bully kebarat-baratan

Makin hari makin susah saja
Menjadi manusia yang manusia
Sepertinya menjadi manusia
Adalah masalah buat manusia

Begitulah beberapa penggalan lirik dari lagu Irsan Skuter berjudul Bingung yang menurut saya dapat memberikan gambaran mengenai kondisi dunia saat ini. Di tengah merebaknya virus Corona, beberapa negara melemparkan stigma buruk terhadap negara asal virus, China. 

Fenomena pemberian stigma tersebut acapkali didasari oleh xenofobia. Tidak hanya dalam kasus virus Corona, pengaruh xenofobia yang dibenturkan dengan sentimen terhadap agama tertentu juga mendasari peristiwa penolakan pembangunan Gereja Santo Joseph di Karimun, Perusakan Musala di Minahasa Utara, hingga yang terbaru, peristiwa kerusuhan yang berujung pembantaian di Delhi


Kasus Xenofobia Pertama Indonesia

Salah satu peristiwa pembantaian etnis tertua di Indonesia adalah Peristiwa Geger Pacinan atau bisa disebut Tragedi Angke atau juga bisa disebut Perang Sepanjang yang berlangsung dari tahun 1740 hingga 1743. 

Perang tersebut diawali dengan kebijakan Gubernur VOC, Adriaan Valckenier memberlakukan kebijakan keras untuk mengurangi populasi etnis Tionghoa di Batavia yang saat itu dianggap sudah terlalu banyak. 

Adriaan Valckenier mengharuskan masyarakat Tionghoa memiliki izin menetap atau permissie brief dengan ketentuan setiap orang Tionghoa harus membayar dua ringgit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun