Peristiwa 22 Mei lalu cukup menghentakkan masyarakat Indonesia, bukan karena motif yang diperjuangkan melainkan berbagai hoaks yang beredar pada waktu sebelum, setelah dan saat peristiwa demo itu terjadi. Berbagai hoaks ataupun pernyataan yang saling menjatuhkan antar kedua pihak turut meramaikan dan memicu kerusuhan yang terjadi.
Dari peristiwa tersebut, pemerintah mulai menyadari bahwa sosial media cukup menjadi ancaman dan menjadi ladang yang subur bagi persebaran hoaks.
Perlu diketahui, jumlah pengguna internet di Indonesia sangat tinggi, hal ini nampak dari hasil penelitian Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019
Dalam grafik tersebut, jumlah pengguna internet di Indonesia diperkirakan sebesar 150 juta jiwa dengan populasi mencapai 268,2 juta jiwa. Hal ini dapat diartikan tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 56% dari total populasi. Sedangkan pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi
Hampir sana, pada penelitian di tahun 2017, WeAreSocial.net dan Hootsuite mengemukakan perkembangan penggunaan internet di Indonesia sangat pesat, yakni tumbuh 51% dalam kurun waktu satu tahun yang menjadikan Indonesia menempati urutan ke dua pengguna internet terbesar sedunia. Adapun, saat itu, Youtube mendominasi sebagai platfrom yang paling sering digunakan di Indonesia
Untuk itu, dengan dalil membatasi penyebaran hoaks di media sosial, pemerintah membatasi operasional media sosial saat peristiwa kerusuhan terjadi. Namun, tepatkah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah?
Fenomena penyebaran hoaks secara massif saat ini tidak terlepas dari terbuka luasnya pintu Indonesia bagi penambangan data oleh media sosial asing sehingga kepentingan nasional sangat rawan untuk disusupi atau terancam oleh kepentingan asing yang seringkali merugikan pihak Indonesia. Sebelumnya, seperti yang telah banyak dibicarakan bahwa selain menjadi sarana berhubungan di media maya, perusahaan media sosial juga menggunakan platformnya sebagai lahan tambang data.
Data para pengguna platform media sosial memiliki nilai tinggi terutama bagi perusahaan periklanan produk untuk menentukan target pemasarannya ataupun bagi perusahaan media sosial itu sendiri guna mempelajari perilaku penggunanya.
Fakta tersebut mulai terungkap dan menjadi viral setelah terungkapnya kasus yang menimpa Facebook dan perusahaan konsultan Cambrdige Analytica yang dituduh menambang data pribadi 50 juta pengguna Facebook untuk membantu memenangkan Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016.
Tidak hanya di tingkat korporasi, persaingan dagang antara Amerika Serikat dan China salah satunya juga disebabkan perebutan pengelolaan inovasi teknologi dunia yang disebabkan proyek ambisius China "Made in China 2025" yang menjadikan negara itu pemimpin dunia dalam industri teknologi tinggi salah satunya dalam pengelolaan Big Data.
Tentunya, Pemerintah Indonesia telah menyadari Indonesia menjadi pasar yang luas bagi penambangan Big Data. Meskipun begitu, pemerintah setempat belum bisa mengintervensi sepenuhnya media sosial ataupun platform asing seperti Google, Youtube yang beroperasi di Indonesia.
Untuk itu, yang dilakukan Pemerintah Indonesia hanya sebatas memblokir platform media sosial sesaat mengingat jumlah pengguna yang semakin meningkat. Diperlukan keberanian dari Pemerintah Indonesia untuk membatasi sepenuhnya sepak terjang media sosial asing namun di sisi lain, diperlukan kesiapan media sosial lokal untuk menggantikan peran tersebut.
Menghadapi kasus seperti ini, kita perlu mencontoh kiat Pemerintah China yang memberikan kesempatan kepada generasi mudanya untuk mengembangkan platform mereka sendiri sembari melindungi dari ancaman Amerika Serikat.
Di tahun 2013, China yang mulai fokus mengaktifkan kembali jalur perdagangan sutra yang menghubungkan China dan Eropa yang memakan biaya $4-8 triliun.
Bagi dunia industri China, proyek tersebut sangat memberi dampak terutama pada perusahaan rintisan dan ventura. Di 2013, hanya ada 2 perusahaan rintisan China yang mampu menembus daftar 20 perusahaan rintisan dengan nilai pasar terbesar di dunia. Sedangkan di 2018, ada 9 perusahaan rintisan (start-up).
Hal ini tidak lepas dari peran Pemerintah China yang turut memberikan bantuan pendanaan 20% yang disalurkan melalui perusahaan ventura. Pemerintah China juga aktif mengadakan kompetisi start-up sedari tingkat lokal mulai dari distrik, kota, hingga tiap provinsi.
Selain itu, 3 perusahaan rintisan China yang paling berpengaruh yaitu Baidu, Alibaba, dan Tencent juga ikut mendanai 30% start-up teratas China dan juga memberikan pelatihan pada start-up China lainnya agar ikut bertumbuh. Pemerintah China juga memberikan kebijakan yang turut mendukung start-up lokal dengan membatasi langkah start-up asing dalam penguasaan pasarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H