Seperti yang telah diketahui, berdasarkan laporan dari Mckinsey Company yang bekerjasama dengan Ocean Conservancy di tahun 2015, menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik nomor dua di dunia setelah Tiongkok.
Dalam laporan berjudul Stemming the Tide: Land-based strategies for a plastic- free ocean, dijelaskan bahwa asal sampah plastik di lautan sebanyak 20% berasal dari industri penangkapan ikan dan kapal penangkap ikan sedangkan 80% sisanya berasal dari sampah plastik di darat yang tidak dikelola dengan baik sehingga mengalir ke lautan.
Lebih dari setengah jumlah sampah daratan yang mengalir ke laut berasal dari 5 negara yaitu Tiongkok, Indonesia, Filipina, Thailand dan Vietnam yang berarti kelima negara tersebut menjadi lima negara dengan penyumbang sampah plastik di lautan terbesar di dunia.
Masalah sampah plastik tentunya cukup kompleks untuk diselesaikan dan mungkin saja memakan waktu yang tidak singkat karena seperti yang telah kita ketahui, kelima negara tersebut menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan saat ini negara-negara tersebut telah sampai pada tahap pertumbuhan ekonomi dimana permintaan konsumen akan produk yang aman dan sekali pakai lebih tinggi dibandingkan infrastruktur pengelolaan limbah local. Kemudian dari kondisi tersebut, memunculkan 2 masalah utama yaitu skala pengumpulan dan penampungan sampah itu sendiri
Dari grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampah plastik yang mengalir ke laut dari daratan sebagian besar (75%) berasal dari sampah yang tidak tertampung sedangkan 25% berasal dari kebocoran sampah yang telah melalui sistem pengelolaan limbah. Masalah juga diperparah dikarenakan berdasarkan grafik, sampah plastik di laut didominasi oleh plastik dengan nilai guna yang rendah sebesar 61%
Dari grafik tersebut, dapat disimpulkan apabila tidak ada penanganan yang berkelanjutan (Business as usual/ menjalankan kegiatan bisnis dan kegiatan seperti biasa) dapat diprediksi jumlah sampah plastik yang bocor ke lautan tiap tahunnya semakin meningkat
Menurut McKinsey and Company, di tahun 2025 diperkirakan 250 juta ton sampah plastik mengalir di lautan meskipun telah diambil tindakan pencegahan. Dari jumlah tersebut, dapat diartikan dalam 3 ton ikan terdapat setidaknya 1 ton sampah plastik.
Plastik tidak hanya membahayakan hewan dan habitatnya dalam ukuran yang besar namun dapat membelah menjadi partikel yang lebih kecil (microplastik yang memiliki ukuran < 5 mm, nanoplastik yang memiliki ukuran < 0,1 m) hingga dapat menyusup ke partikel air ataupun ikan kecil yang akan dikonsumsi oleh mahluk hidup.
Pendapat ini pun semakin ditegaskan dari hasil penelitian Anderson Abel de Souza Machado yang dimuat dalam Forschungsverbund Berlin, dimana pencemaran mikroplastik di darat lebih besar dibanding di laut diperkirakan 4 hingga 23 kali didasarkan pada kondisi lingkungan. Dalam penelitian ini, diperkirakan 1/3 dari seluruh sampah plastik berakhir di tanah ataupun air. Air limbah juga menjadi sarana distribusi bagi mikroplastik yang dibuktikan dalam penelitian yang sama menyebutkan sekitar 80 hingga 90 % partikel plastik terdapat di air limbah.
Adapun mikroplastik pada air limbah dapat berasal dari limbah fiber sisa industri tekstil dan biasanya air limbah tersebut digunakan sebagai campuran pupuk sehingga dapat terkandung dalam tanah.
Selain itu, mikroplastik dalam air limbah juga dapat berasal dari limbah hasil pencucian pakaian sehari-hari, hal tersebut dikarenakan partikel fiber kecil yang berasal dari acrylic, nylon, spandex, dan polyester sebagai bahan pakaian dapat terlepas ketika proses pencucian. Dalam sebuah studi yang dimuat di Majalah Water World menyebutkan lebih dari 700.000 mikroplastik fiber dapat terlepas ke lingkungan dalam sekali proses pencucian menggunakan mesin cuci.
Lantas, apa efek dari adanya partikel plastik ?
Pecahan partikel plastik dapat menimbulkan efek fisik dan kimia, untuk efek kimiawi antara lain disebabkan dari kandungan bahan aditif phthalates and Bisphenol A dalam plastik yang terlepas menimbulkan efek hormonal seperti gangguan hormon. Adapun partikel plastik berukuran nano dapat menyebabkan peradangan, perubahan ekspresi gen ataupun reaksi biokimia.
Di samping itu, menurut penelitian dari Macquarie University, polusi plastik juga dapat membahayakan pertumbuhan bakteri Prochlorococcus dan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen. Dari hasil penelitian, satu jenis bakteri tersebut turut menyumbang 10% kandungan oksigen di udara (sekitar 3 oktillion).
Solusi yang ditawarkan
Adapun untuk mengurangi risiko bocornya plastik di laut, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh seperti meningkatkan sistem transport untuk mengurangi pembuangan sampah secara illegal; meningkatkan fasilitas pembuangan (TPS) dekat aliran air; mengubah berbagai jenis sampah menjadi bahan bakar ataupun energi; memilah sampah plastik yang masih memiliki nilai guna tinggi untuk diubah menjadi refuse-derived fuel (bahan bakar yang diproduksi dari berbagai macam limbah).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H