Sejak kemunculannya di tahun 2015, ojek daring yang dikomando oleh perusahaan GO-JEK di Indonesia telah menarik banyak masyarakat Indonesia baik sebagai mitra maupun pengguna. Tercatat hingga tahun 2017, jumlah mitra yang bekerjasama dengan GO-JEK berjumlah 250.000, sedangkan jumlah mitra Grabbike berjumlah 150.000 (berdasarkan data Litbang Kompas yang dikutip dari Tech In Asia dan berita Kompas)
Dari hasil jajak pendapat Kompas di 16 kota besar di Indonesia pada akhir Agustus 2018, sepertiga responden jajak pendapat Kompas sepakat ojek daring lebih cepat dibandingkan angkutan umum lain.
Selain itu, ojek juga dengan mudah menyalip dan menyelip di antara kendaraan lain dalam menerobos kemacetan, akses lebih mudah, Begitu pula dengan para mitra yang memiliki motif beragam saat bergabung sebagai mitra ojek daring.
Menariknya, profesi ojek daring seolah menjadi "seksi sesaat" dikarenakan cukup menjanjikan. Menurut data Litbang Kompas, rata-rata penghasilan pengemudi GO-JEK Rp 3,31 juta sehingga dari Survei Pendapat Ojek Daring tahun 2019 terhadap 200 pengemudi ojek daring di DKI Jakarta, sebanyak 81 % responden
Namun di tengah banyaknya keuntungan menjadi mitra ojek daring, terdapat beberapa masalah pelik seperti kurangnya penerimaan di kalangan angkutan tradisional yang menghambat penetrasi dari ojek daring di tengah masyarakat.
Di samping itu, terjadi penurunan pendapatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan saat awal mereka bergabung.
Misalnya, yang bergabung di tahun 2014 dan 2015, rata-rata pendapatan yang diperoleh 10,9 juta dan 8,3 juta rupiah per bulan sedangkan mereka yangmuali bekerja di tahun 2018, rata-rata pendapatan yang diperoleh Rp 4,1 juta sampai Rp 4,9 juta per bulan.
Jika dilihat laju penurunan rata-rata pendapatan ojek daring, rata-rata pendapatan yang diterima ojek daring berkurang 22 persen setiap tahun.
Di samping itu, sebuah studi yang dipublikasi di jurnal Science Advances membandingkan sebelum dan sesudah adanya lonjakan fenomena berbagi tumpangan (ride share) di San Fransisco, Amerika Serikat.
Dari studi tersebut, ditemukan bahwa Uber, Lyft dan aplikasi berbagi tumpangan lainnya yang sejenis menimbulkan kerugian bagi orang yang ingin berpergian secara cepat.
Hal ini dikarenakan bisnis tersebut membayar para pengendara yang menggunakan kendaraan yang dimilikinya sehinnga dapat meningkatkan jumlah mobil yang menutupi jalanan.
Kesimpulan tersebut coba dibuktikan kembali oleh 2 orang peneliti dari University of Kentucky dan seorang anggota San Francisco's County Transportation Authority.
Sebagai perbandingan awal, tim peneliti mencoba melihat data sinyal lalu lintas dari tahun 2010, dimana perusahaan transportasi daring, Uber belum diluncurkan dan pendahulu Lyft, Zimride baru berjalan 2 tahun. Disamping itu, pada taksi konvensional kebanggaan New York juga masih menguasai pasar.
Data tersebut dibandingkan dengan data tahun 2016, dimana sistem berbagi tumpangan bukan menjadi inovasi baru bahkan telah mencapai titik jenuh.
Dari perbandingan tersebut, terjadi peningkatan VHD (Vehicle Hours Of Delay) dari 18 menjadi 23 persen. Sebagai catatan, kedua data diambil saat pagi dan sore jam padat.
Perlu diketahui, vehicle hours of delay adalah jumlah kendaraan yang diam terjebak macet selama satu jam.
Untuk mengatasi hal tersebut, baru-baru ini New York menerapkan pajak kemacetan (congestion pricing). Hal ini menandakan New York menjadi kota pertama di Amerika Serikat yang menerapkan gagasan tersebut.
Senada dengan London yang telah menerapkan gagasan tersebut sejak 2003; Stockholm di tahun 2007; dan Milan di tahun 2013. Dengan menerapkan gagasan tersebut, New York menyetujui pemberian biaya lebih untuk berkendara di jantung Manhattan, kawasan sentral bisnis terkemuka di New York.
Misalnya, untuk melintasi terowongan Lincoln dan Holland sebelum menyeberang melalui Jembatan George Washington guna memasuki Kawasan Manhattan, para pengemudi dikenai biaya lebih $15.
Di samping itu, juga dapat diterapkan sistem berbagi tumpangan dengan tujuan yang searah atau sama (Shared trips).
Menurut dokumen penelitian dari Schaller Consulting berjudul The New Automobility: Lyft, Uber and the Future of American Cities, selain menurunkan kemacetan, solusi tersebut juga menjadikan biaya yang harus ditanggung dari 1 perjalanan menjadi lebih murah
Lantas, apa saja yang dilakukan pemerintah berbagai kota di Indonesia untuk mengatasi ledakan model bisnis berbagi tumpangan (rideshare), terutama dampaknya yang akan menimbulkan macet akibat bertambahnya jumlah kendaraan ? Patut ditunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H