Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tantangan dan Peluang Industri Makanan dan Minuman

12 Februari 2018   17:00 Diperbarui: 12 Februari 2018   17:07 4966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa lebaran merupakan masa yang cukup ditunggu bagi penggelut bisnis makanan dan minuman karena masa lebaran cukup banyak memberi keuntungan bagi penggelut bisnis tersebut. Namun, di tahun 2017, keuntungan yang diperoleh jauh lebih kecil jika dibandingkan tahun sebelumnya misalnya saja di masa lebaran tahun 2012,  pertumbuhan dapat mencapai 38% sedangkan di lebaran tahun 2017, pertumbuhan keuntungan hanya mencapai 5%.

Data tersebut menunjukkan produk makanan dan minuman sudah bukan barang yang mewah terutama bagi orang kota seperti Jakarta yang hendak mudik ke kampung, di sisi lain hal ini juga menunjukkan pemerataan distribusi yang cukup sukses dengan menjamurnya minimarket hingga tingkat desa.

Hingga saat ini, masih banyak investor yang masih berminat di bidang industri makanan dan minuman. Hal ini ditunjukkan dari data Penanaman Modal Dalam Negeri bidang industri makanan dan minuman di Indonesia yang meningkat hingga Rp 64 triliun di tahun 2017 jika dibandingkan Rp 60 triliun di tahun 2016.

Saat ini pemerintah menyoroti posisi Indonesia terkait daya saing di pasar global dalam Global Competitiveness Indexyang meningkat dari ranking #41 ke ranking #36. Dalam Global Competitiveness Index, data menunjukkan penjualan produk pangan olahan Indonesia yang yang semakin memburuk dari yang sebelumnya mengalami kerugian Rp 200 juta hingga di tahun 2017, Indonesia mengalami kerugian hingga Rp 1 milyar.

Selain itu, peringkat kemudahan berbisnis Indonesia juga meningkat dari ranking #91 ke ranking #72. Namun, di sisi lain peringkat Indonesia dalam Food Global Innovationdan Food Security Index, menunjukkan kabar yang kurang baik dengan menempati peringkat #5 di ASEAN.

Peningkatan peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Index menurut Adhi berita yang kurang begitu menyenangkan karena apabila dilihat lebih lanjut, peningkatan tersebut karena "pabrik dari Tuhan" salah satunya sumber daya alam yang melimpah. Di sisi lain, technological readinessIndonesia masih belum menunjukkan perkembangan dan hal ini juga didukung dengan buruknya sumber daya manusia (labour marketefficiency) Indonesia.

Untuk itu, Adhi S. Lukman mengingatkan agar para mahasiswa menjadi lulusan yang handal agar tidak ditelan perubahan zaman. Selain itu, Adhi S. Lukman juga mengingatkan untuk membantu menginovasi produk karena berdasarkan pengalamannya, perusahaan yang terus berinovasi dalam produknya akan lebih bertahan daripada perusahaan yang hanya mengandalkan penjualan 1 produk. Jika dibandingkan dengan Thailand, inovasi makanan di Indonesia harus diakui kalah dengan Negeri Gajah Putih. Begitu pula dengan inovasi makanan Indonesia juga kalah dengan China dan Australia.

Harus diakui, industri makanan dan minuman di Indonesia masih sangat tergantung dengan impor, salah satu contohnya Asam Sitrat yang banyak digunakan oleh industri makanan dan minuman. Asam Sitrat sendiri berasal dari bahan baku Onggok (sisa olahan Tepung Tapioka) dimana Indonesia banyak menghasilkan kentang dan produk olahan tapioka. Namun ironisnya, 80% kebutuhan Asam Sitrat di Indonesia masih tergantung dari impor

Namun, Indonesia juga patut bersyukur karena kontribusi Indonesia juga mempengaruhi sebanyak 40 % di ASEAN sehingga Adhi pun sering menyebut ASEAN sebagai Greater Indonesia. karena banyak industri makanan dan minuman yang membuka jalur distribusi di ASEAN baik itu retailasing maupun retailIndonesia. Menurut Adhi, ASEAN dapat menjadi pasar yang potensial bagi perdagangan. Adhi pun juga mengisahkan anak Indonesia yang mengadu nasib ke Negeri China yang sukses berdagang produk Kerupuk Udang merk Papatonk sebanyak 400-500 kontainer tiap bulan.

Perkembangan terbaru, Presiden Jokowi cukup kecewa dengan daya saing Indonesia yang kalah dari negara tetangga Thailand dan Singapura.

"Persaingan perdagangan produk makanan dan minuman masih cukup berat karena ekspor menuju Benua Afrika dan Amerika Latin masih dikenakan bea masuk 30%. Di sisi lain, China yang banyak bekerjasama dengan negara-negara di Kawasan Benua Afrika dan Amerika Latin dapat bernegosiasi hingga biaya masuk produk China dapat dipangkas hingga 0% menuju ke negara di kawasan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun