Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

RW, Dilema Tradisi dan Hati Nurani

10 Januari 2018   21:49 Diperbarui: 10 Januari 2018   21:51 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika berbicara tentang konsumsi Daging Anjing di tengah masyarakat dunia saat ini bagaikan efek domino yang selalu hangat diperdebatkan. Banyak yang menggemari dan banyak pula yang menghujatnya. Banyak masyarakat yang mengonsumsi Daging Anjing karena telah menjadi budaya dan banyak pula aktivis perlindungan hewan yang menentang hal tersebut.

Alasan penentangan konsumsi Daging Anjing bukanlah tanpa alasan. Saya pernah mendapatkan tugas untuk mencari pangan alternatif dan seketika itu saya terpikir untuk melihat proses pembuatan RW yang dalam bahasa Timur Rintek Wuuk (Rica- Rica Anjing). Setelah saya mencari tahu tempat pengolahan Daging Anjing, saya akhirnya menemukan tempat yang saya maksud dan cukup ironi, tempat tersebut terletak di belakang pekarangan rumah sederhana dikelilingi rumah-rumah elite Semarang dan jika dilihat dari depan, rumah tersebut tidak tampak seperti tempat penjagalan Anjing dan tentunya kegiatan bisnis makanan Rica- Rica Anjing belum mengantongi izin dari Dinas Kota Semarang. 

Setelah saya mewawancarai pemilik usaha tersebut, diperoleh fakta bahwa konsumen mereka rata-rata berasal dari warga di luar Semarang seperti Kendal, Salatiga, Demak. Ketika saya menanyakan mengenai sumber anjing yang mereka peroleh, mereka mengaku bahwa Anjing yang mereka peroleh berasal dari distributor. Anjing tersebut dimasukkan dalam kandang dan diantarkan menggunakan motor di pagi hari.

Di siang harinya, Anjing yang telah ditempatkan dalam satu kandang, dikeluarkan, kemudian mulai dibunuh dengan cara dilitkan kawat pada lehernya dan digantung di tiang kayu sampai terdengar jeritan kematian yang terakhir. Setelah wafat, anjing kemudian diturunkan dan dibakar untuk menghilangkan bulunya. Anjing pun kemudian dipisahkan bagian kepala, tubuh, dan ekornya dan dikuliti. Bagian yang dikonsumsi adalah kepala dan tubuh sedangkan bagian ekor dan kaki dibuang. Bagian kepala dan tubuh anjing (tanpa kaki dan ekor) dimasukkan dalam wajan besar dan dimasak dengan api yang besar dalam waktu sekitar 1,5 jam.

 Banyak masyarakat yang menentang konsumsi Daging Anjing dikarenakan Anjing sering dikenal sebagai hewan yang bersahabat dengan manusia. Selain itu, banyak juga masyarakat yang masih memegang mitos bahwa Anjing merupakan hewan yang paling setia. Selain itu, cukup dikhawatirkan dari mengonsumsi Daging Anjing dapat menjadi sarana penularan Penyakit Rabies dan beberapa penyakit lainnya. Telah banyak kasus keracunan akibat penyakit Rabies seperti dilansir dari http://www.onegreenplanet.org misalnya saja di tahun 2008, terdapat 20% anjing yang terinfeksi Rabies di sebuah rumah pemotongan Anjing di Hoai Duc, Vietnam. Setahun sebelumnya, terdapat 30% anjing yang mati terinfeksi Rabies saat hendak dipotong. 

Selain bahaya penyakit Rabies, juga terdapat bahaya-bahaya lainnya efek dari mengonsumsi Daging Anjing seperti Penyakit Anthrax (penyakit akibat terinfeksi Bakteri Bacillus anthracis), Brucellosis (penyakit akibat terinfeksi Bakteri Brucella sp.), Hepatitis dan Leptospirosis (penyakit akibat terinfeksi Bakteri Leptospira sp.). Untuk itu, sebuah kampanye mulai digalakkan oleh Humane Society International, sebuah perkumpulan aktivis pembela hak-hak hewan di Korea Selatan yang menebus harga tiap Anjing yang akan disembelih dan selanjutnya Anjing tersebut akan dikirim ke Amerika Serikat untuk diadopsi sebagai Anjing keluarga

Lain halnya dengan pihak menyetujui kegiatan konsumsi Daging Anjing, mereka menganggap bahwa konsumsi Daging Anjing dapat memberikan kehangatan pada tubuh, melancarkan aliran darah dan dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti asma. Daging Anjing mengandung beberapa nilai gizi misalnya saja Air 60,8 gr, Energi 198 kkal, Protein 24,6 gr, Karbohidrat 0,9 gr, Kalsium 1071 mg, Abu 3 gr, Besi 4 mg, Natrium 1604 mg, Kalium 226 mg, Tembaga 0,1 mg, Seng 2,8 mg Tiamin 0,35 mg, dan Riboflavin 0,2 mg dalam 100 gr Daging Anjing. Beberapa negara telah menjadikan kegiatan mengonsumsi Daging Anjing sebagai budaya misalnya Vietnam, China, maupun Korea Selatan. 

Di Vietnam, Daging Anjing telah menjadi makanan khas bernama Doi Cho yang telah bertahan turun-temurun. Dalam menu Doi Cho, Daging Anjing yang telah dibakar dibuat dalam bentuk sosis dan dihidangkan bersama Daun Aprikot dan Saus Petis. Tingginya angka konsumsi Daging Anjing di Vietnam sebanyak 5 juta Anjing per tahun (tertinggi kedua di dunia setelah China) menarik minat warga Vietnam untuk berbisnis gelap di bidang ini. Adapun Anjing yang akan disembelih diperoleh dari hasil curian dari anjing peliharaan warga. Hal inilah yang menjadikan pencuri Anjing sebagai musuh yang paling dibenci publik Vietnam

Berbeda halnya dengan Budaya di Korea Selatan yang menyembelih Anjing menggunakan bantuan listrik. Setelah disetrum, Anjing kemudian dimasukkan dalam air panas 60OC dan langsung disalurkan menuju mesin pencabut rambut. Jika dibandingkan di Vietnam, budaya mengonsumsi Daging Anjing lebih dibebaskan, hal ini terlihat dari adanya Moran Market (pasar penyedia Daging Anjing terbesar). Bagi penjual Daging Anjing di Korea Selatan, terdapat 2 musim utama yang dinamakan sebagai Dog Season. Dog Season terdiri dari Peak Season (penjualan tertinggi Daging Anjing di Musim Panas) dan Off Season

Di Indonesia, penjualan Daging Anjing juga tumbuh subur dalam arena perdagangan gelap. Dilansir dari Tirto.id, di Kota Yogyakarta misalnya diperoleh data jumlah anjing yang dikonsumsi per hari sebanyak 215 ekor. Di Provinsi Bali, jumlah Anjing yang disembelih sebanyak 70 ribu ekor per tahun. Di Kota Jakarta, setidaknya 20 Anjing disembelih per minggu untuk memenuhi hasrat konsumen.

Menurut Brad Anthony (peneliti hewan dari Canada) seperti dilansir dari New York Times, mengatakan bahwa "Kegiatan mengonsumsi Daging Anjing merupakan efek negatif dari pembangunan ekonomi di Indonesia dan bahkan tidak hanya Indonesia melainkan negara-negara di Kawasan ASEAN dikarenakan efek pembangunan ekonomi menempatkan masyarakat miskin yang membutuhkan asupan kaya protein tidak dapat menjangkau harga Daging Ayam, Sapi, maupun Babi sehingga masyarakat miskin tidak punya pilihan lain selain mengonsumsi Daging Anjing yang dijual dengan harga yang lebih murah dibanding Ayam, Sapi, maupun Babi" jelas Anthony

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun