Indonesia dan Malaysia
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia sudah terjalin jauh sebelum era kemerdekaan. Berdasarkan sisi geografis dan historis, Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 hingga kejayaan Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-17 serta di masa penjajahan, hubungan antar penduduk dan kekerabatan telah terjalin dengan erat satu sama lain. Itulah sebabnya mengapa banyak orang-orang keturunan Indonesia yang tinggal di Semenanjung Malaysia.
Dalam koridor aktivitas kenegaraan, ruang lingkup hubungan Indonesia-Malaysia diwarnai dengan lika-liku dan dinamika yang cukup rumit. Salah satu ombak besar yang harus dihadapi oleh kedua belah pihak adalah konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1963-1966.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
      Singkatnya, konfrontasi ini merupakan peristiwa mengenai persengketaan wilayah dan penolakan penggabungan Sabah, Sarawak, Brunei, dan Singapura untuk bergabung dengan Negara Federasi Malaysia untuk membentuk federasi Malaysia, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Persekutuan Tanah Melayu. Rencana ini pun langsung ditolak mentah-mentah oleh Ir. Soekarno yang berpendapat bahwa penggabungan beberapa wilayah tersebut akan mengancam keutuhan NKRI dan negara-negara Asia Tenggara lainnya mengingat Malaysia adalah negara jajahan Inggris, dan akan menjadikan Malaysia sebagai negara boneka Inggris. Soekarno menganggap jika hal ini adalah suatu bentuk jajahan baru (neokolonialisme) yang dilakukan oleh Inggris dan dikhawatirkan akan menambah kontrol Inggris di kawasan Asia tenggara serta membangun pangkalan militer yang akan mengganggu stabilitas negara-negara disekitarnya.
      Upaya diplomasi pun segera dilakukan. Pada tanggal 31 Mei 1963, Presiden Soekarno menemui Perdana Menteri Malaysia, Tuanku Abdul Rahman di Tokyo, Jepang. Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan Konferensi Tingkat Luar Negeri di Manila, Filipina pada tanggal 7 sampai 11 Juni 1963. Hasil dari Konferensi tersebut adalah Indonesia dan Filipina telah menyetujui pembentukkan Negara Federasi Malaysia dengan catatan sebagian besar masyarakat yang berada dalam Negara Federasi Malaysia setuju dengan referendum yang diadakan oleh PBB.
      Namun tiba-tiba Tuanku Abdul Rahman justru menandatangani berdirinya Negara Federasi Malaysia dengan Inggris, dan resmi berdiri pada tanggal 16 September 1963 tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno. Hal ini membuat Soekarno marah dan semakin yakin bahwa neokolonialisme akan segera terjadi.
      Ketegangan terus berlanjut saat muncul para demonstran anti-Indonesia di KBRI Kuala Lumpur pada 17 September 1963. Disana mereka merobak foto presiden Soekarno serta menyuruh Tunku Abdul Rahman menginjak lambing negara Indonesia. Kemarahan Soekarno tak dapat dibendung. Kemudian Soekarno ingin balas dendam terhadap aksi demonstran tersebut. Istilah "Ganyang Malaysia" kembali dipertegas dalam pidato Soekarno, yang sebelumnya istilah tersebut pernah diucapkan oleh Soekarno dan dipopulerkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio pada tanggal 20 Januari 1963. Ketegangan memuncak saat Presiden Soekarno melakukan konfrontasi memerintahkan KOGAM (Komando Ganyang Malaysia) ke perbatasan Indonesia Sabah dan Sarawak. Aksi ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa ada pemberitaan resmi.
      Ganyang Malaysia kembali ditekankan oleh Soekarno. Tanggal 16 Agustus 1964 sebanyak 50 gerilyawan Indonesia berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja. Ketegangan terus berkembang setelah para demonstran Indonesia menyerang kedutaan besar Inggris dan Singapura di Jakarta, di satu sisi demonstran Malaysia juga menyerang KBRI di Kuala Lumpur. Di sepanjang perbatasan Kalimantan pun terjadi peperangan yang dilakukan oleh para sukarelawan. Di tahun yang sama Indonesia menyerang wilayah semenanjung Malaya yang dilakukan oleh KOLAGA (Komando Mandala Siaga). Di sisi lain Malaysia berhasil menangkap 16 agen bersenjata Indonesia di Johor, kemudian Tentara Laut Di Raja mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia.
      Ketegangan terus berlanjut. Pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini sontak mengagetkan Soekarno dan pada tanggal 20 Januari 1965 Indonesia mengundurkan diri dari keanggotaan PBB. Sikap yang diambil oleh Presiden Soekarno adalah bukti dari ketidakpuasan Indonesia. dan memutus segala bantuan yang berasal dari naungan PBB.
      Indonesia mulai menggunakan militer resminya pada pertengahan tahun 1965. Pada tanggal 1 Juli 1965 tentara Indonesia menyerang pangkalan laut Malaysia di Semporna. Sebanyak 5.000 personil mengepung dan menyerang wilayah tersebut sampai 8 September. Serangan ini dikenal dengan nama "Pengepungan 68 hari".
Berakhirnya Ketegangan Serta Upaya Perdamaian
Ketegangan mereda seiring dengan hilangnya kekuasaan Soekarno pada tahun 1966. Banyak faktor yang mendukung perdamaian Indonesia-Malaysia, antara lain karena adanya gejolak politik dan ekonomi akibat G30S PKI pada akhir tahun 1965. Hingga pada tanggal 28 Mei 1966 sebuah konferensi diselenggarakan di Bangkok dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada tanggal 16 Agustus 1966. Di tahun yang sama, Indonesia kembali pada pelukan PBB pada tanggal 28 September. Dengan visi yang jauh ke depan, para pemimpin negara sudah memulihkan keadaan, bahkan kedua negara menjadi pelopor pembentukan ASEAN di tahun 1967. Konfrontasi tersebut merupakan salah satu gelombang besar yang kedua negara harus hadapi sekaligus mewarnai hubungan kakak-adik antara Indonesia dan Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H