Mohon tunggu...
Jonathan Hasudungan
Jonathan Hasudungan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terfokus pada topik-topik sejarah sosial, budaya dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia dan Kekuasaan

6 November 2024   18:34 Diperbarui: 6 November 2024   18:44 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Politikus

"Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely", ungkapan tersebut merupakan pernyataan yang ditulis oleh John Dalberg-Acton (1834-1902), seorang politisi Inggris, dalam surat kepada rekannya, Uskup Mandell Creighton. John Dalberg Acton, atau lebih dikenal sebagai Lord Acton, membuat ungkapan populer tersebut kala ia berargumen dengan rekannya mengenai korupsi yang terjadi dalam otoritas Gereja Katolik abad pertengahan. Lord Acton berpendapat bahwa kejahatan sejumlah paus Roma di masa lalu tidak dapat diabaikan, bahkan dengan memakai dalih moral relativism sekalipun. Baginya, kesalahan-kesalahan tokoh otoritas masa lalu selalu wajib dikritisi terlepas dari jiwa zamannya, dan semua manusia harus dinilai berdasarkan standar moral yang universal. Kemudian, dia membuat pernyataan lainnya bahwa "great men are almost always bad men...", merujuk pada pendapatnya bahwa orang-orang yang menduduki kursi otoritas (holders of power) cenderung pernah, sering, dan akan melakukan kelaliman dalam rangka meraih serta mempertahankan kekuasaan (Acton, 1887). 

Berdasarkan deskripsi singkat mengenai dua ungkapan Lord Acton, muncul suatu masalah mengenai relasi antara manusia dan idealismenya, dengan politik sebagai "masalah kekuasaan, otoritas, serta konflik" (Nambo, 2005).  Bila melihat hubungan antara tindakan politik dengan konsep kekuasaan, yang dimaknai oleh Max Weber dalam dua pengertian, yaitu kuasa sebagai kekerasan (macht) dan kuasa sebagai otoritas (herrschaft) (Weber dalam Badie, 2011), maka didapatkan secara jelas bahwasanya idealisme manusia berpotensi tinggi kontras terhadap tindakan politik. Idealisme yang dimaksud adalah tekad manusia dalam mempertahankan moralnya, baik moral dari code of conduct (hukum agama dan adat) ataupun moral dari moral universalism (hati nurani manusia). Dengan demikian, nilai-nilai idealisme seorang manusia, seperti kejujuran, integritas, keramahan, dan kebaikan secara umum rentan dirusak kekuasaan yang didapatkan dengan tindakan politik. Maka, masalah yang perlu dianalisis adalah kemampuan manusia untuk tetap mempertahankan idealismenya dalam politik praktis.

Kecenderungan politik untuk merusak idealisme manusia sempat diteliti oleh seorang psikolog bernama David Kipnis, ia kemudian menyimpulkan bahwa kemampuan untuk menguasai orang lain (sebagai efek berpolitik) menyebabkan adanya sugesti untuk lebih jauh mengeksploitasi kekuasaan itu dengan adanya ketimpangan status sosial (Kipnis dalam Martin, 1998).  Sugesti ini kemudian menjadi pintu gerbang bagi seseorang yang mempraktikkan politik untuk melakukan hal-hal buruk lainnya, dan lebih lanjut meninggalkan nilai-nilai yang dulu diperjuangkan sebelum mencapai kekuasaan. Keadaan tersebut akan diperparah lingkungan politik yang kompetitif sekaligus bobrok, sehingga semakin memaksa politisi-politisi untuk mengikuti dan tunduk pada situasi itu. Tetapi, sepanjang alur waktu masih banyak tokoh politik berpengaruh dan berkuasa namun tetap mempertahankan nilai-nilai moralnya, sebagai contoh yaitu Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia yang tetap menyerahkan jabatan kepresidenannya setelah dimakzulkan, walaupun pada saat itu ia masih mendapat dukungan luas masyarakat untuk mempertahankannya. Keberadaan tokoh-tokoh politik yang masih idealis mengindikasikan adanya potensi manusia untuk tidak dikorupsi kekuasaan, terlebih dengan uniknya kepribadian dan cara pikir setiap manusia. 

Masih adanya orang-orang idealis yang berada dalam dunia perpolitikan menjadi harapan tersendiri bagi masyarakat, hanya saja keadaan demikian perlu diubah secara menyeluruh sehingga perpolitikan itu tidak berpotensi tinggi merusak idealisme orang-orang di dalamnya. Solusi terbesar dilakukan dengan dua cara, yaitu:

  1. Mereformasi Sistem Politik

Situasi perpolitikan dalam suatu negara atau institusi sangat ditentukan oleh sistem politik yang dipakai. Sistem politik dapat dimaknai sebagai kelompok institusi legal yang membentuk pemerintah atau negara (Heslop, 2024), sehingga berkaitan dengan struktur politik. Suatu struktur politik yang membatasi kekuasaan-kekuasaan dengan baik dan proporsional dapat mencegah hancurnya idealisme para politisi melalui penyelewengan otoritas. Salah satu contoh struktur politik yang membatasi kekuasaan adalah sistem demokrasi yang memberikan kuasa tertinggi kepada rakyat,  namun sistem ini perlu dilengkapi lebih lanjut dengan Trias Politica sehingga representasi rakyat (pemerintah) terpecah menjadi tiga lembaga, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masih banyak sistem politik lainnya yang dapat mencegah rusaknya mental idealisme politisi, tetapi solusi ini perlu dilengkapi lebih lanjut dengan pengubahan budaya politik.

  1. Perubahan Budaya Politik 

Solusi ini jauh lebih kompleks dibandingkan solusi pertama yang telah dijabarkan, sebab pembahasan budaya politik perlu melibatkan analisis multidimensional, seperti faktor historis, sosiologis, ekonomis, dst. Tetapi tanpa budaya politik yang baik, suatu sistem politik masih memiliki potensi besar untuk dikorupsi, seperti yang terjadi pada banyak negara dengan sistem politik Trias Politica dan demokrasi, seperti Rusia, Korea Utara, Pakistan, Sudan, dan bahkan dalam skala lebih kecil termasuk Indonesia. 

Terdapat beberapa klasifikasi mengenai budaya politik yang lebih spesifik serta relasinya terhadap kekuasaan. Didasarkan pada tingkat partisipasi masyarakat dalam perpolitikan negara, Gabriel Almond membaginya menjadi tiga, yaitu:

-Budaya Parochial : Masyarakat yang kesadaran dan pengetahuan berpolitiknya masih amat rendah.

-Budaya Participant Citizens: Masyarakat sadar dan memiliki pengetahuan mengenai perpolitikan, serta ikut berpartisipasi hingga memengaruhi arah kebijakan negara.

-Budaya Subject : Masyarakat yang memiliki kesadaran dan pengetahuan berpolitik namun partisipasinya terbatas, terlebih sebagai oposisi (Almond, 1963).

Melalui perubahan budaya politik menjadi tipe participant citizens, potensi politisi untuk memanfaatkan kekuasaannya dengan buruk menjadi semakin kecil. Budaya participant citizens perlu didorong melalui edukasi yang dilakukan berbagai aktor, baik itu aktor besar seperti pemerintah dan institusi, hingga aktor paling kecil seperti komunitas sampai keluarga. Selain jenis budaya politik ini, masih ada beberapa klasifikasi budaya politik lainnya yang mendeskripsikan berbagai kultur perpolitikan. Dengan mengubah budaya politik yang korup, niscaya struktur politik juga dapat berjalan sesuai tujuan serta memaksa para politisi untuk tunduk pada sistem yang ada.

Terlepas dari sistem dan budaya politik yang sehat serta berjalan sinkron antara keduanya, niat baik tiap partisipan politik masih diperlukan untuk menjaga idealismenya sendiri. Para partisipan politik, terutama politisi yang memegang kekuasaan, tetap memerlukan penguatan pada kepribadian masing-masing, ini juga menjadi bentuk solusi lain yang bersifat mikro dibandingkan dua solusi pertama yang bersifat struktural. Beberapa contohnya seperti:

  1. Tekun dalam kehidupan rohani dan spiritualitas pribadi, termasuk menjalankan ibadah, melakukan konseling dengan pemuka agama, hingga memahami etika agama yang dianut.

  2. Belajar untuk terbuka dalam menerima kritik dan sudut pandang berbeda, sehingga memupuskan sifat kesewenang-wenanangan yang ada dalam diri.

  3. Membiasakan kejujuran dari hal-hal terkecil dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian tidak membiasakan diri dengan sifat kebohongan dan kemunafikan yang rentan muncul dari kehidupan politik.

  4. Selalu transparan ketika mengemban tanggung jawab dan kepentingan bersama, sehingga peluang untuk melakukan korupsi akan suatu kewajiban menjadi semakin kecil.

  5. Sederhana dalam kehidupan sehari-hari, termasuk menghindari nafsu materialistis terhadap kemewahan duniawi, melalui solusi ini maka seseorang tidak merasakan adanya kebutuhan untuk menyelewengkan kekuasaan politik.

Kombinasi antara solusi makro (struktural) dan mikro (individual) yang telah dijabarkan sebelumnya mungkin bisa mengusahakan terciptanya sikap politisi yang semakin bebas penyelewengan. Idealisme yang dimiliki seseorang sejak sebelum dipegangnya kekuasaan dapat terjaga hingga saat ia memiliki kuasa, dan hingga ia menyelesaikan masa kuasa tersebut. Demikianlah relasi antara manusia dan kekuasaan melalui politik praktis tidak saling merusak, tetapi menghasilkan manfaat untuk masyarakat seperti yang diharapkan.

Referensi

Acton, J. D. (1907). Letter to Archbishop Mandell Creighton, April 5, 1887. In Historical Essays and Studies. Macmillan. https://history.hanover.edu/courses/excerpts/165acton.html

Almond, G., & Verba, S. (1963). The Civic Culture. Sage Publications, Inc.

Bertrand Badie. (2011). International Encyclopedia of Political Science (Vol. 1). SAGE Publications, Inc. https://ia803103.us.archive.org/13/items/internationalencyclopediaofpoliticalscience/International%20Encyclopedia%20of%20Political%20Science.pdf

Brian Martin. (1998). Power tends to corrupt. In Information Liberation: Challenging the corruptions of information power (pp. 1-6). Freedom Press. https://documents.uow.edu.au/~/bmartin/pubs/98il/il01.pdf

Heslop, A. (2024, October 21). Political system | Types, Components, Functions, & Facts. Britannica. https://www.britannica.com/topic/political-system

Nambo, A. B., & Puluhuluwa, M. R. (2005). MEMAHAMI TENTANG BEBERAPA KONSEP POLITIK (Suatu Telaah dari Sistem Politik). Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 21(2), 262-285. https://media.neliti.com/media/publications/154709-ID-memahami-tentang-beberapa-konsep-politik.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun