Mohon tunggu...
Jonas Suroso
Jonas Suroso Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pemangsa Anak-anak Sasar Sekolah-sekolah Internasional

24 April 2014   08:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:16 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Judulnya di atas terdengar seperti terlalu dibesar-besarkan tapi kalau mengingat luka baik jasmani maupun rohani yang diderita anak-anak yang menjadi korban tentu saja ini bukan sekedar hal yang bisa dianggap sepele. Kejahatan seksual yang terjadi di JIS bisa menjadi petunjuk betapa teledornya sekolah-sekolah internasional yang ada di beberapa negara. Mungkin dengan embel-embel bertingkat internasional lalu mereka pikir sudah mendapat nilai tambah dalam hal kualitas padahal yang terjadi justru sebaliknya. Rupanya setelah sekian lama tinggal di Indonesia, sang kepala sekolah dengan tanpa masalah menerapkan kiat “berlakulah seperti orang Roma ketika kamu ada di Itali”. Ijin mengelola sekolah lupa diurus atau malah mungkin pura-pura lupa karena mereka kuatir adanya pengeluaran tambahan untuk mengurus ijin. Mungkin juga sekolah kuatir mereka akan menjadi sapi perah kementerian terkait. Saya juga perhatikan sepertinya sudah hilang urat malunya karena tidak terdengar tanda-tanda kepala sekolah atau guru yang akan mengundurkan diri. Mungkin sudah terbiasa melihat koruptor-koruptor Indonesia di KPK yang cengengesan di surat kabar. Begitu sampai di Indonesia, hilanglah empati mereka akan hak azasi yang diagung-agungkan di negaranya. Selain keteledoran dalam urusan administrasi ada momok yang perlu dicermati dalam hal perekrutan guru-guru internasional. Kekacauan ini menjadi bahan sindiran oleh Sacha Stevenson di Youtube. Dalam film itu diberikan beberapa kiat untuk turis pengelana untuk menjadi guru di Indonesia. Tak bisa dipungkiri kalau ini akibat menjamurnya sekolah-sekolah berembel-embel internasional maupun yang berbahasa pengantar bahasa Inggris dan semangat menghadapi globalisasi yang menggebu-gebu. Umumnya orang asing dari negara maju yang mencari pekerjaan di luar negeri itu biasanya orang yang sulit mendapatkan pekerjaan di negaranya sendiri. Yang saya maksudkan di sini, orang yang mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Tentu saja ada beberapa pengecualian, misalnya pekerja sosial maupun misionaris. Biasanya pencari pekerjaan jenis ini adalah wisatawan pengelana yang memutuskan tinggal lebih lama di negara lain karena memang suka suasana negara itu atau hal lain. Hal lain inilah yang harus dicermati karena tidak sedikit banyak dari mereka tidak bisa dengan mudah mendapat pekerjaan di negaranya karena mungkin mereka punya latar belakang yang tidak baik. Informasi latar belakang seseorang di negara maju sulit sekali dihilangkan apalagi kalau orang itu sudah masuk daftar penjahat kelamin. Di Amerika Serikat, saya dapat dengan mudah mendapat peringatan kalau ada penjahat kelamin yang pindah ke daerah saya tinggal. Penjahat kelamin ini biasanya orang yang sudah pernah dihukum karena kejahatan seksual baik terhadap wanita maupun anak-anak. Mereka biasanya dilarang bekerja yang berhubungan langsung dengan anak-anak dan sulit mendapat pekerjaan yang cukup mapan. Pekerjaan sebagai guru adalah salah satu pekerjaan yang cukup mapan. Saya guru juga lho. Sebagai jalan keluar biasanya penjahat kelamin ini akan mencari pekerjaan di luar negeri. Di luar negeri itu latar belakang mereka menjadi putih bersih dan dengan leluasa mereka dapat menyalurkan kesukaan mereka yang menyimpang. Entah karena kebetulan atau tidak, ketika sedang hangat-hangatnya kasus di JIS, ada seorang pemangsa anak-anak yang bunuh diri di Amerika Serikat karena latar belakangnya yang  menyimpang mulai tercium pihak yang berwajib. Dari catatan pengalamannya mengajar di luar negeri, orang ini pernah bekerja selama 10 tahun di JIS. Semakin mengikuti berita tentang JIS semakin banyak hal-hal yang tidak wajar di sekolah tersebut. Dari saat saya sekolah di TK Indonesia sampai anak saya sekolah TK di Amerika saya tidak pernah sekalipun menemui guru TK pria. Saya hanya melihat ada guru TK pria hanya dalam film Kindergarten Cop! Bukannya seorang pria tidak bisa menjadi seorang guru TK tapi seorang pria secara alami tidak akan pernah memiliki naluri keibuan yang dimiliki seorang wanita. Saya tidak habis pikir bagaimana bisa seorang guru TK di JIS tidak kuatir ketika salah seorang muridnya keluar kelas begitu lama. Bagaimana kalau sampai anak itu diculik? Yang betul-betul membuat saya tercengang tampaknya si guru bahkan tidak peduli setelah korban kembali ke kelas sambil menangis. Jasa si guru yang turut mengungkapkan kejahatan seksual ini tidak cukup untuk membebaskan dia sebagai bagian  dari masalah kelalaian dalam pengajaran yang terjadi di JIS. Di Amerika begitu murid masuk sekolah TK, mereka diajarkan untuk tidak berbicara dengan orang dewasa yang tidak mereka kenal. Seorang petugas kebersihan termasuk orang yang tidak seharusnya anak-anak TK kenal. Anak-anak TK itu hanya berbicara kepada gurunya saja. Bahkan kalau ada orang tua murid yang bertanya, mereka tidak harus menjawab kalau mereka tidak kenal. Saya tidak tahu dari mana negara asal guru-guru ini. Saya curiga mungkin hal-hal seperti ini tidak ditanamkan di JIS. Yang saya dengar memang beberapa sekolah internasional memiliki jaringan pusat data yang mengumpulkan nama guru-guru yang memiliki masalah. Pusat data ini memang belum resmi jadi saya yakin kalau pusat data ini belum terhubung dengan pusat data penjahat kelamin yang ada di AS. Melihat catatan pengalaman pemangsa anak-anak yang punya mobilitas tinggi, saya pikir sudah waktunya untuk memiliki pusat data yang lebih tepercaya yang bisa diakses semua sekolah internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun