Mohon tunggu...
jonansaleh
jonansaleh Mohon Tunggu... Ilustrator - Hands are the second thought

Tangan adalah pena dari pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Otakku Bolos

2 Mei 2024   20:27 Diperbarui: 2 Mei 2024   22:09 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Selamat Hardiknas

Pagi lagi, dan ini hari Kamis. Tinggal sehari lagi tugasku mengasuh otak di minggu ini berakhir. Kemarin, setelah dua hari berjaga, aku berleha-leha sejenak dari rutinitasku. Mengendurkan kerut dahi yang sudah berpetak-petak, kusut, kasar dan serasa terbakar. Sempat  kubawa ke tukang oplas. Untung saja, tukangnya lagi oplas juga. Tidak jadi. 

Kenalkan, aku Bolos si pengasuh otak. Sejak umurmu 6 tahun, aku sudah mulai terlatih untuk mengasuh otak. Aku belajar tahap demi tahap menjadi pengasuh otak yang mahir, belajar bagaimana otak bermimpi di hari esok, tentang  membangunkan matahari, melawan ngantuk, menuruti kata mama, mandi, menyikat gigi, sarapan, menuntun otak di jalan, sampai mengantarnya depan pintu yang dipenuhi kepala-kepala kecil, calon pengasuh otak masa depan. 

Sejak saat itu, kepala-kepala kecil itu dijaga dari segala sudut. Tidak dibiarkan berkeliaran atau bermain sendirian, menangis,  nakal, bersuara aneh, teriak, apalagi harus saling adu jotos, jotos kepala. Awas, nanti ada Kepala-kepala besar yang memberi hukuman. Paling ringan dikatai bodoh, bebal dan nakal. 

Paling berat? Hidung berdarah saja masih kurang. Kepala kami wajib berseragam merah-putih, kaos hitam atau putih, sepatu hitam atau putih, tergantung ketentuan para Kepala besar. Kami ada di negeri Petakumpet dimana kewajiban 9 tahun menjadi pengasuh otak adalah masa yang paling ideal menjadi pengasuh yang profesional. Bahasa mereka. 

Itu di sepuluh tahun yang lalu. Kini, aku terus mengasuh otakku, ku ulangi terus apa yang aku mulai saat kepala ini bertumbuh. Setiap tahun di sepanjang menuju sembilan tahun ini, kepala dipenuhi aneka suara, aksi, kewajiban, hak, hak mendapatkan bekal untuk otak, hak mencuri perhatian, hak untuk berlibur, termasuk hak berkawan dengan kepala-kepala yang lain, yang berbeda jenis. 

Tapi ada yang berbeda seiring kepala ini menjalankan rutinitasnya. Seperti di pagi ini. Keengganan untuk melangkah dari nyamannya tempat tidurku, membuat aku hampir telat. Meski mama berulang kali menyahut, aku masih berselimut, membungkus kepalaku, ditemani ponsel yang sedari alarm bercanda bersamaku. 

Sampai teriakan Ayah membakar daun telingaku, memekak bulu kudukku. Aku segera bergegas, lekas membersihkan kepalaku dari mimpi. Lalu tidak lupa sarapan, menyimpan bekal masakan mama, berpakaian rapi, buku yang perlu digantung, PR yang harus dijinjing di tangan kanan. Tidak lupa, uang saku untuk berjaga, kalau-kalau kepala ini haus. Semua beres. 

"Allah yang Maha tinggi dan penuh kemuliaan, terangilah kegelapan kepalaku dan berilah aku akal yang sehat" Doaku sebelum berangkat. Lalu jalan.

Perjalanan kali ini lancar dan nyaman. Aku bersyukur. Kepala sang sopir angkot lihai dan cekatan, kepala sang driver penuh kesabaran, kepala-kepala yang berjalan kaki menikmati otot-ototnya. Begitu gembira. Dari dalam kaca, kulihat kepala sang pembawa gerobak tersenyum, lalu ada kepala berdiri tegak di lampu merah, mengatur kepala-kepala yang melintas. Semua dengan kesibukannya masing-masing. Semua dengan warna kepalanya. Aku pun turun. Sesampai di pintu gerbang, dua Kepala besar seperti biasa menyapa kehadiranku. 

"Selamat pagi", aku berinisiatif menyapa

"Selamat pagi Bolos", Serempak mereka membalas sapaku

Berjalan sebentar, menaiki tangga, menyusuri lorong, dan berbelok persis di tengah-tengah, diantara empat ruangan yang mengapit. Aku membuka pintu. Belum satupun kepala menengadah dari balik meja-meja itu. "Kali ini Bolos yang pertama," aku berbangga sendiri dalam hati. Kemudian kusimpan kepalaku di meja paling depan, favoritku. Aku sudah terbiasa dekat dengan Kepala besar. Sekalian menjilat barangkali nanti nilai sembilan ditempel di jidatku. Atau kalau aku jatuh ngantuk, Kepala besar menuntun aku ke dunia mimpi. Itu harapku duduk terdepan.

Sesaat berselang, Ayu muncul. Dia si kepala cantik, elok dan manis. Tapi ia penuh hiasan, pernak-pernik sejenisnya, bulu mata, lipstik, catok, cermin, pensil alis, make up, penuh digantung di telinga kiri. Ia bermimpi setelah lulus jadi pengasuh, dia menjadi artis terkenal. Makanya, selain barang-barang itu, ia memasang Tiktok tepat di kedua lengan tangannya, dan di bawah kedua kakinya. Saat rehat di 30 menit, dia pasti berjoget ria dengan dua kepala yang lain, Sindi dan Nindi. Duo kembar, sahabat akrabnya. Selain berjoget, ia suka berselancar mencari info tentang tips menjadi artis. Ia sangat terobsesi. Yaaa. Meski isi kepalanya setengah dari Reinar, si kepala paling kinclong. 

Dua puluh menit berlalu, 25 kepala kini sudah tertata di masing-masing meja pilihan. Tinggal satu meja belum terisi, punya Disipli. Ia pasti telat. Seperti biasa. Maka tidak heran, kami memulai saja tanpa dia. 

Pak Kepala besar masuk dengan penuh semangat. Tampak sehat, segar dengan potongan kepala yang baru. Seperti Ronaldo saja. Senyam-senyum tanpa henti saat menyambangi kami. Padahal kemarin baru saja gajian, kudengar dari kepala di bangku belakangku berbisik. Oohh.. begitu toh. Makanya ia bersemangat. Ia, meski baginya gaji itu seperti menunggu bus di halte. Singgah sebentar, eh jalan lagi. Walau begitu ia tetap rendah hati, setia dan sabar menjalani kewajibannya. 

Pak Kepala besar memulai dengan cerita motivasi dan petuah-petuah klasik sekedar mengambil perhatian dari kepala kami. Cerita tentang orang-orang sukses yang memulai karirnya dari 1. Satu kepala yang terisi. Sekitar 15 menit awal, aku sangat antusias, mengangguk-angguk kecil, geleng-geleng telinga, sampai berdecak kagum dengan mengeluarkan suara desis dari lidahku. Lama-lama, sayup suaranya yang khas menjauh dari pendengaranku, semakin jauh dan jauh bagai semilir yang memabukkan. Mata telingaku layu dan mulai terasa berat. Semakin berat. Kepalaku perlahan menempel pada meja, lalu merekat bersama tumpukan PR yang belum dikumpul. 

Aku tertidur. 

Beberapa kepala masih mendongak, manggut dan berusaha memastikan karet telinga mereka tidak putus saat Pak Kepala besar mulai menjelaskan tentang kinds of  tenses in English. Simple present, simple past, past perfect, etc..  Accent British dari Pak kepala besar, hanya dipahami oleh Reinar seorang..Yang lain berkutat dengan ketidaktahuan mereka. Dasar kepala tanpa isi.

Hei, Bolos. BANGUN! Tidur 'mulu kerjaanmu.

Aku kaget. 

Masa setiap aku masuk dan beri penjelasan you always sleep. How could you understand the topic. How Can I Help your future if you don't have a good understanding. How?

Semua terdiam. Menikmati aku dikatai Pak kepala besar. Sayup, suara cekikikan dari sudut paling belakang memerahkan batang hidungku. Aku meminta maaf dan menyesali perbuatanku. Di hadapan semua kepala itu, aku berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatan itu, meski ini perjanjian yang ke 10. Pak Kepala besar memaafkan saya. Semua terima..Lalu penjelasan dilanjutkan dengan kesimpulan. Sebelum ditutup, Pak Kepala besar memberi kesempatan untuk kami bertanya. Semua tidak berani sebelum saya memberanikan diri. 

"Pak, apakah hari ini kita pulang cepat?"

Begitulah caraku berada di ruang BK bersama kepala sekolah dan keluarga besarku.

Selamat Hardiknas. 

Maju terus pendidikan Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun