Pagi lagi, dan ini hari Kamis. Tinggal sehari lagi tugasku mengasuh otak di minggu ini berakhir. Kemarin, setelah dua hari berjaga, aku berleha-leha sejenak dari rutinitasku. Mengendurkan kerut dahi yang sudah berpetak-petak, kusut, kasar dan serasa terbakar. Sempat  kubawa ke tukang oplas. Untung saja, tukangnya lagi oplas juga. Tidak jadi.Â
Kenalkan, aku Bolos si pengasuh otak. Sejak umurmu 6 tahun, aku sudah mulai terlatih untuk mengasuh otak. Aku belajar tahap demi tahap menjadi pengasuh otak yang mahir, belajar bagaimana otak bermimpi di hari esok, tentang  membangunkan matahari, melawan ngantuk, menuruti kata mama, mandi, menyikat gigi, sarapan, menuntun otak di jalan, sampai mengantarnya depan pintu yang dipenuhi kepala-kepala kecil, calon pengasuh otak masa depan.Â
Sejak saat itu, kepala-kepala kecil itu dijaga dari segala sudut. Tidak dibiarkan berkeliaran atau bermain sendirian, menangis, Â nakal, bersuara aneh, teriak, apalagi harus saling adu jotos, jotos kepala. Awas, nanti ada Kepala-kepala besar yang memberi hukuman. Paling ringan dikatai bodoh, bebal dan nakal.Â
Paling berat? Hidung berdarah saja masih kurang. Kepala kami wajib berseragam merah-putih, kaos hitam atau putih, sepatu hitam atau putih, tergantung ketentuan para Kepala besar. Kami ada di negeri Petakumpet dimana kewajiban 9 tahun menjadi pengasuh otak adalah masa yang paling ideal menjadi pengasuh yang profesional. Bahasa mereka.Â
Itu di sepuluh tahun yang lalu. Kini, aku terus mengasuh otakku, ku ulangi terus apa yang aku mulai saat kepala ini bertumbuh. Setiap tahun di sepanjang menuju sembilan tahun ini, kepala dipenuhi aneka suara, aksi, kewajiban, hak, hak mendapatkan bekal untuk otak, hak mencuri perhatian, hak untuk berlibur, termasuk hak berkawan dengan kepala-kepala yang lain, yang berbeda jenis.Â
Tapi ada yang berbeda seiring kepala ini menjalankan rutinitasnya. Seperti di pagi ini. Keengganan untuk melangkah dari nyamannya tempat tidurku, membuat aku hampir telat. Meski mama berulang kali menyahut, aku masih berselimut, membungkus kepalaku, ditemani ponsel yang sedari alarm bercanda bersamaku.Â
Sampai teriakan Ayah membakar daun telingaku, memekak bulu kudukku. Aku segera bergegas, lekas membersihkan kepalaku dari mimpi. Lalu tidak lupa sarapan, menyimpan bekal masakan mama, berpakaian rapi, buku yang perlu digantung, PR yang harus dijinjing di tangan kanan. Tidak lupa, uang saku untuk berjaga, kalau-kalau kepala ini haus. Semua beres.Â
"Allah yang Maha tinggi dan penuh kemuliaan, terangilah kegelapan kepalaku dan berilah aku akal yang sehat"Â Doaku sebelum berangkat. Lalu jalan.
Perjalanan kali ini lancar dan nyaman. Aku bersyukur. Kepala sang sopir angkot lihai dan cekatan, kepala sang driver penuh kesabaran, kepala-kepala yang berjalan kaki menikmati otot-ototnya. Begitu gembira. Dari dalam kaca, kulihat kepala sang pembawa gerobak tersenyum, lalu ada kepala berdiri tegak di lampu merah, mengatur kepala-kepala yang melintas. Semua dengan kesibukannya masing-masing. Semua dengan warna kepalanya. Aku pun turun. Sesampai di pintu gerbang, dua Kepala besar seperti biasa menyapa kehadiranku.Â
"Selamat pagi", aku berinisiatif menyapa