Mohon tunggu...
jonansaleh
jonansaleh Mohon Tunggu... Ilustrator - Hands are the second thought

Tangan adalah pena dari pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Deklamasi Iblis: Waktunya Pertunjukkan

26 April 2024   23:28 Diperbarui: 27 April 2024   07:50 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat, di panggung para Pencari Tuhan, tiba-tiba muncul sang iblis dari balik tirai. 

Semua kaget! Kepalang ajar. Bukan main, siapa telah mengundang? 

Menggendong jamu di pundaknya. Ia menghentak kerumunan, mengoyak puja-puji penyembah. Sudut-sudut panggung dikuncinya, ditutup dengan tanduk berkawat. Lampu penerang diubah menjadi merah darah. Pekat. Ia tanpa busana. 

Dengan lidah menjulur, menghembus bau busuk dari gigi-gigi karang yang berkarat. 

Sayapnya melebar, tumbuh menutupi sebagian latar. Melayang, membentangkan keenam tangannya, dengan kuku yang terus tumbuh.

 Satu lirikan, semua terpana. Dua siulan, memabukkan. Kaki-kakinya tak terantuk, angkuh, menderet tiga kursi, bersusun-susun. Hening. 

Tapi apa buat, semua dalam ketakutan. Dan pertunjukkan dimulai: 

Hahahaha...saat yang kutunggu akhirnya tiba. Muslihat! Mustahil, menggertakku dalam jangkauan inderamu. Aku bisa datang tanpa menyapa di saat telingamu bebal. Aku menghanyut lewat angin dikala galau meracaumu. Dengan satu tiupan kau kuterbangkan, sampai lupa daratan. 

Duniaku di seberang, kau bisa lewati jembatan jika mau bersua aku. Jembatan tamak. Tak mungkin merayuku dengan tipuanmu selama mulutmu bengkok, bernanah penuh keluh. Kau tak bisa membentakku. Pekikanmu adalah suara sumbang yang muncul dari kebodohanmu. Aku bisa merubah wajahmu seputih malaikat. Dengan balutan kasut bekas pakai. Masih wangi dengan parfum kemunafikan. 

Ini kusiapkan panggung untukmu, wahai para pemuja. Bersaksilah dengan bersilat lidah, kumandangkan istanaku dengan kemegahan duniawimu. Kusiapkan tiga kursi, satu untukku, satu untuk kamu, dan satu untuk ibumu. Bapakmu sudah duduk di sofa. Kita berkeluarga, bermain peran dengan menguasai malam saat orang-orang tidur pulas setelah seharian menumpuk jarahan, dari pinggir jalanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun