Beberapa hari belakangan “pamor” puisi di indonesia kembali moncer. Ramai-ramai orang membicarakan puisi. Bahkan ada salah satu follower twitter menginginkan ada lomba puisi daripada lomba pantun yang diadakan salah satu simpatisan parpol di Indonesia.
Adalah petinggi partai gerindra, Fadli Zon, yang “memamorkan” puisi sebagai upaya mengkritik lawan dalam kampanye pemilu kali ini. Tidak tinggal diam PDI Perjuangan juga memunculkan “penyair” politik, Fahmi Alhabsyi untuk menandingi Fadli Zon.
Sejarah menunjukkan bahwa Puisi dalam jagat politik bukanlah hal baru. Dunia sastar khususnya, puisi, menjadi salah satu alat untuk menyuarakan hati ketika sarana lain mengalami kemacetan.
Kita masih ingat sajak perlawan Widji Tukul “Peringatan” /Kalau rakyat bersembunyi/Dan berbisik-bisik /Ketika membicarakan/ masalahnya sendiri/Penguasa harus waspada dan belajar mendengar. Bait-bait itu masih hidup hingga sekarang. Mereka melintasi zaman melebihi uang bahkan kekuasaan.
Perihal perang puisi antara Fadli Zon dengan Fahmi Alhabsy patut dijadikan teladan untuk menyuarakan hati. Puisi mereka melebihi Ruhut Sitompul, Sutan Batoegana, maupun Fahri Hamzah (mereka bertiga terkenal dengan politisi bemulut “bocor” di media massa). Saya sendiri yakin kritik yang disampaikan via puisi lebih tajam dari sekadar “bocor” tetapi memiliki keindahan yang masih bisa dinikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H