SELALU ada pelangi di setiap badai. Dan pelangi itu melintas hari ini.
Masih pagi, tapi udara terasa panas. Kendaraan mulai merangkak begitu memasuki Depok, Jawa Barat. Aku hendak ke Universitas Indonesia, sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini.
Aku diterima di universitas ini. Terasa nyaman begitu membaca pengumuman;
Selamat, Anda diterima di Universitas Indonesia.
Kalimat yang membuat kubahagia. Aku membacanya melalui situs resmi penerimaan mahasiswa baru di Universitas Indonesia. Ingin rasanya aku berteriak sampai langit tinggi. Ini imbalan dari persiapan yang kulakukan secara bersungguh-sungguh hampir setahun lamanya. Pelangi itu semakin indah.
Gerbang Universitas Indonesia mulai terlihat. Pohon-pohon rindang seperti di kampung saja. Ada jalur sepeda, ada trotoar yang rapi. Jalan beraspal mulus. Mahasiswa melangkah cuek, entah kemana. Aku tenggalam dalam gebalau kampus ini.
Di sini selama beberapa tahun ke depan, hari-hari akan aku lalui. Kampus ini, seperti pintu masa depan. Bangunan rektorat terlihat berdiri angkuh, seakan mengawasi tiap langkah mahasiswa yang lalu lalang disekitar sana.
Aku tenggelam dalam kesibukan kampus kuning ini. Apalagi ketika memasuki gerbang Fakultas Ekonomi. Dimana tempat aku akan menimba ilmu sebanyak-banyaknya.
Di kampus kuning ini, di Fakultas Ekonomi lebih tepatnya, berkumpulah para ekonom  hebat Mulai dari begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Anwar Nasution, Sri Edi Swasono hingga Sri Mulyani, Rhenald Kasali, Chatib Basri dan Mulyaman Hadad, serta sederatan panjang nama lainnya. Mereka menjadi komando perekonomian Indonesia di berbagai tempat pada masanya masing-masing. Kemana arah kapal bernama Indonesia ini, presiden yang menentukannya, tapi merekalah bahan bakarnya. Tak ada mereka, tak bergerak Indonesia ini. Mati, karam di tengah laut, tenggelam.
Aku merasa ciut. Jauh-jauh dari daerah, mempertaruhkan masa depan di sini. Memautkan cita-cita di langit tinggi.
Aku pernah mengalami masa-masa seperti ini; siswa SMA tingkat akhir, yang ada dipikiran mereka adalah kemana akan kuliah. Dimana hendak meniti tangga menuju gerbang masa depan.
Rasa ingin melanjutkan bangku pendidikan ke tingkat universitas begitu kuat di hati masing-masing siswa SMA tingkat akhir, begitupun aku. Keseharian diisi dengan belajar dan belajar. Hanya sedikit main-main.
Pagi hingga siang duduk manis di bangku sekolah, belajar. Bel berbunyi, pindah belajar ke tempat bimbingan belajar. Malam harinya, pindah ke tempat bimbingan belajar lain. Ada juga yang belajar di rumah guru. Ada yang belajar kelompok, ada yang belajar sendiri saja di rumah. Yang tidak belajarpun ada.
Tapi mungkin itulah letak bedanya tingkat kesungguhan dari masing-masing pribadi. Semakin tinggi cita-cita, semakin kuat usaha. Semakin ingin masuk jurusan bergengsi di universitas bergengsi pula, maka semakin sering belajar.
Aku juga begitu, paling tidak ikut berusaha. Pertama karena benar-benar ingin kuliah, di jurusan yang aku inginkan, dan universitas yang bergengsi tentunya. Kedua karena ingin membanggakan kedua orang tua dan kampung halaman, ketiga karena teman-teman lain juga sibuk belajar dan membincangkan masa depan.
Maka merantaulah aku jauh-jauh dari Sumatera sana. Menangis kedua orangtuaku ketika melepas anaknya ini merantau. Tangis bahagia. Tak semua orangtua bisa menangis seperti itu. Bisa kuliah di UI, adalah impian nyaris semua anak Indonesia. Ini satu hal yang selalu aku ingat, status sebagai mahasiswa UI begitu diinginkan oleh orang-orang yang ingin memperbaiki hidup. Maka pantangan pertama adalah jangan sombong, dan pantangan kedua adalah aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
Mau tidak mau aku ikut terbawa hanyut ke dalam obrolan dan pola hidup – rajin belajarnya – anak-anak SMA ini. Kuat hati ini untuk terus belajar, sadar bahwa tak ada lagi waktu untuk bermain-main – dan melakukan hal-hal tidak terlalu berguna, harus berjerih payah dari sekarang.
Bak kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Belajar dan berdoa, aku terus upayakan agar seimbang. Tentu juga bermain, hambar benar hidupku nanti kalau belajar ke belajar saja. Tak yakin aku kalau para menteri-menteri hebat itu dulunya hanya belajar saja kerjanya, pastilah ada mainnya juga. Kampusku ini punya jargon yang tumbuh dan bertahan turun temurun di kalangan mahasiswanya. Buku, pesta dan cinta.
Aku memilih jurusan Ilmu Ekonomi, meskipun kata orang-orang jurusan Akuntansi dan Manajemen jauh lebih bergengsi, namun nuraniku tetap memilih jurusan yang satu ini. Paling tidak universitasnya saja sudah sangat bergengsi. Universitas Indonesia.
Sekarang inilah aku, mahasiswa rantau yang akan menuliskan sedikit demi sedikit lembar sejarah baru dalam hidupku. Teringat akan sebuah kutipan yang pernah dilontarkan guru mengajiku dulu yang ia kutip pula dari Imam As-Syafii – waktu itu aku masih sekolah dasar;
Singa takkan memangsa bila tak keluar dari sarangnya, anak panah takkan mengenai sasaran bila tak dilepas dari busur. Orang pandai dan beradab tak akan diam di kampung halaman, tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang, pergilah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan sahabat.
Untuk :
Almarhum Mas Karnoe
Keluarga besar BO Economica FE UI
NB:
1. Silahkan disebarkan kisah yang baik ini, karena semakin banyak yang membacanya makin luaslah dampaknya. Jangan dibajak/plagiat ya! Kalau disebarkan, jangan lupa pula mencantumkan sumbernya (kaya skripsi aja!).
2. Lanjutan chapter dari novel "Karnoe - Sejarah Tak Tertulis di Balik Nama Besar" akan diunggah setiap minggu ke-2 dan minggu ke-4 di hari Jumatnya. Artinya, chapter  01 akan saya unggah  pada 29 Agustus 2014.
3. Insya Allah setelah itu akan dilanjutkan dengan novel "Bunda Lisa" dan karya saya lainnya. Baik yang sudah, maupun belum di tangan editor.
@da_jomb | www.jombangsantanikhairen.com
"Tulislah Sesuatu yang Bahkan Kau Sendiri Akan Tergetar Apabila Membacanya."
Novel versi cetak bisa Anda dapatkan dengan berkunjung ke Toko Buku Gramedia.
Bisa juga melalui pemesanan online ke alamat email:
produkperubahan@rumahperubahan.com
atau buku@rumahperubahan.com
(T: @Rumah_Perubahan dan @produkperubahan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H