Seperti yang disampaikan Fahri Hamzah, pemimpin yang dibutuhkan di Indonesia harusnya punya jiwa leadership yang kuat dengan ideologi partai yang digodognya. Sementara demokrasi Indonesia saat ini terjebak pada populartias yang berdampak pada elektabilitas. Sementara media sosial dan lembaga survei merupakan sistem pesanan yang tidak nyata menunjukan kinerja kepemimpinan.
Semua orang yang mendadak populer bisa dicetak dan direkrut partai politik untuk peningkatan elektabilitas secara praktis. Sebut saja kasus Aldi Taher yang viral dengan berbagai kekonyolannya mampu mengenalkan Perindo kepada masyarakat luas. Sementara Prabowo tidak neko-neko untuk mengenalkan kepantasan beliau mendidik kader yang banyak tidak populer di media sosial dan televisi, selain Fadli Zon.
Tuduhan Cacat
Nah, yang paling sering terlihat adalah tuduhan Prabowo dalam kasus penculikan dalam agenda reformasi '98. Isu ini masih sering dimainkan, bahkan dari orang-orang yang lahir tahun 2000-an. Sok-sokan peduli HAM dan mengidolai Widji Toekoel. Sementara Prabowo menjadi objek utama dalam operasi mawar yang dinahkodainya.
Fahri Hamzah sampai geregetan untuk meminta Prabowo segera membongkar realita kejadian kasus penculikan aktivis. Membongkar siapa pelaku utama sebenarnya. Sebab beliau merupakan manusia sejarah yang tidak terbukti menjadi aktor utama penculikan aktivis. Beberapa tuduhan yang memfitnah Prabowo dari tokoh-tokoh nasional juga sudah banyak dianulir, bahkan saat ini malah dirangkul.
Rupanya ada dokumentasi yang tidak banyak diketahui publik tersimpan rapi oleh Fadli Zon tentang semangat perjuangan Prabowo. Bahkan beliau banyak berseberangan dengan Soeharto yang notabene mertuanya sendiri. Sejak awal 90-an beliau kerap mengadakan diskusi dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan ulama.
Dalam konteks kenegaraan beliau juga sering membongkar kebobrokan presidennya (Pak Harto) untuk dijadikan landasan reformasi. Beliau bergerak secara underground menyemangati tokoh nasional dan masyarakat untuk terlibat dalam proses reformasi. Padahal dengan kepopuleran dan kekuatan militer yang dimilikinya, saat reformasi beliau dengan mudah naik menjadi presiden. Namun tidak dilakukannya dan memilih memperbaiki demokrasi yang berjalan hingga saat ini.
Semakin saya pelajari perjuangan beliau, semakin yakin bahwa beliau punya kepantasan menjadi Presiden ke-8 Indonesia. Mungkin ini kesempatan terakhir beliau jika mengacu pada umurnya yang tahun ini menginjak usia 72 tahun. Saya bukan kader Partai Gerinda, bukan juga alumni simpatisan 212. Saya hanya warga biasa yang punya hak berpendapat terhadap pilihan politik yang saya ambil. Selamat berjuang komandan, semoga tahun 2024 menjadi tahun keberuntunganmu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H