Warga akan lebih memilih dari besaran amplop yang diberikan calon kades sebelum pemilihan. Misal tidak memilih calon pendonasi, warga bakal dihantui perasaan ewuh-pekwuh atau tidak enak hati. Itulah kenapa disebut pesta demokrasi, karena pada hari itu, warga tinggal duduk di rumah dan diberikan beberapa amplop yang besarannya beda-beda. Warga bahagia, meski pembanguan desa ke depannya biasa-biasa aja.
Dari realita pilkades di desa saya bisa menjadi gambaran pemilu yang lebih besar seperti pilgub, pileg, hingga pilpres. Pelajarannya, warga lebih suka mengutamakan kerukunan daripada saling caci maki di media sosial hanya karena beda pilihan politik. Sementara bagi calon pemimpin, percuma pandai hingga kuliah di luar negeri kalau tidak punya modal untuk kampanye dan membeli suara.
Entah sampai kapan, budaya jual-beli suara di negara penganut asas demokrasi akan tetap dibudayakan untuk berkuasa. Nyatanya warga masih suka menerima uang kes 100 ribu (bahagia sementara) dibandingkan kemajuan desa yang lebih abadi. Demikian yang menjadikan Indonesia masih biasa-biasa aja, karena warganya juga tidak bisa diajak berpikir maju.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H