Saya tinggal di kecamatan Trucuk, Klaten dan salah satu desanya akan segera mengadakan pesta demokrasi pemilu kepala desa. Setelah tiga tahunan dipimpin oleh PLT (pelaksana tugas) dari pemerintah daerah karena kepala desa sebelumnya meninggal dunia. Pertengahan bulan Juli 2023 akan digelar pilkades menentukan tokoh idola masyarakat.
Semalam, dalam perkumpulan rutin RT, dikenalkan tiga kandidat bakal calon dengan program-program yang ditawarkan kepada warga. Ada yang menjanjikan dana kes lima juta untuk kas RT jika warga kompak memilihnya. Bukan hanya itu, ia juga menjanjikan "uang dispensasi" pengganti jatah kerja sehari sebesar Rp 100.000 per pemilih.
Bakal calon berikutnya juga tak kalah mengiming-imingi janji politik dengan tawaran kas RT senilai sepuluh juta. Namun tidak seperti bakal calon sebelumnya, ia hanya akan menuntaskan janjinya jika nanti sudah resmi terpilih sebagai kepala desa. Sementara bakal calon terakhir kurang menjadi atensi sebab hanya menyajikan retorika pengaplikasian secara tepat program dana desa jika nanti terpilih.
Sebelum diskusi tentang pilkades, Ketua RW dan RT memberikan wejangan agar warga tetap rukun meski suasana bakal tetap memanas jelang pemilihan. Rukun dalam artian, warga diharapkan kompak memilih satu calon dengan tawaran program yang mesti direalisasikan salah satu bakal calon yang nanti diusung.
Risikonya adalah jika nanti kalah, bertahun-tahun dusun saya bakal sepi bantuan dan dipersulit dalam pengajuan program pembangunan. Disebutnya kontrak politik. Entah dalam sistem demokrasi salah atau benar, pemilu yang menganut asas jurdil luber nyatanya tidak berlaku di tingkat desa. Siapa yang nyata memberikan modal dana kepada masyarakat, ia yang bakal dipilih. Secara kompak dan sadar.
Tidak seperti pilpres yang berpotensi menciptakan polarisasi politik identitas, di desa malah dibujuk untuk kompak mendukung salah satu bakal calon. Bagaikan berjudi, kalau menang dusun bakal makmur, kalau kalah dusun bakal ajur. Uniknya, pemberian dana kes bukan dianggap gratifikasi atau suap, melainkan donasi yang diembel-embeli keikhlasan lillahi ta'ala.
Masyarakat pun menyambut "dagangan suara" bukanlah pelanggaran demokrasi. Itu kewajaran dan adat yang mesti dilestarikan. Ada uang, ada pilihan. Percuma ada orang pintar dan bijaksana mengambil keputusan kalau tidak kaya atau tidak memiliki modal.
Namun kebiasaan saya sering memilih calon pemimpin tanpa (minim) modal. Asumsi saya, semakin banyak modal dikeluarkan sebelum pemilu, semakin besar potensi korupsi. Tentu bakal calon bisa menganalisis besaran dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat untuk bancakan ketika terpilih. Masak iya, terpilih jadi kades malah menjadikan miskin.
Bukan berarti yang minim modal bersih dari korupsi ketika menjadi kades. Tahu sendiri pejabat Indonesia jarang yang baik-baik saja. Niatnya pas kampanye menegakan nilai-nilai kebersihan dan keadilan, ketika disodori dana ratusan hingga miliaran rupiah pasti juga akan tergoda menyelewengkan dikit-dikit. Anggap saja sebagai pengganti modal kampanye dan "pemberian donasi" para pemilihnya.
Di desa, pilkades sulit dinilai dari integritas bakal calonnya. Selain, ketiga calon di desa saya yang belum pernah menjadi Walikota dan Gubernur, mereka juga tidak punya media dan buzzer untuk menaikan citra di mata masyarakat. Jadi calon kades yang dipilih ya berdasar uang yang bakal diberikan kepada warga. Istilahnya bekennya "serangan fajar".