Beberapa tahun saya mencoba menysukuri kehidupan yang pas-pasan. Mengaktualisasikan kutipan fenomenal, "Bahagia itu sederhana". Tinggal di dusun bergaji UMR dengan merawat tanaman pot 5 ribuan, memasak berbagai aneka mie instan, hingga telat bayar arisan RT.
Jangankan membeli mobil atau motor gedhe, token listrik dan gas saja baru bisa beli pas gajian. Tidak ada tabungan, apalagi investasi tanah dan bangunan. Tapi saya diajari untuk bersyukur. Menikmati hidup sesuai yang ditakdirkan Tuhan. Tidak ingin dan tidak boleh bercita-cita menjadi kaya.
Untuk meyakinkan kebahagiaan diri, saya mulai tekun belajar filsafat stoikisme, tasawuf, minimalisme, sinisme, dan lain sebagainya. Filsuf Diogenes misalnya, dalam kisahnya, ia meliat ada orang yang minum air pakai tangannya. Kemudian berpikir, "O, ternyata minum air tidak harus pakai gelas bisa?!". Lantas ia buang gelasnya.
Kebahagiaan itu hadirnya dalam diri, bukan bergantung pada orang lain. Selama kebutuhan terpenuhi dan merasa bahagia, maka tidak ada alasan untuk menderita. Sayangnya, orientasi kebahagiaan selalu digantungkan pada orang lain. Sehingga sulit memilah antara kebutuhan dan keinginan.
Anggapannya, kebahagiaan adalah ketika semua keinginan bisa terpenuhi. Padahal semasa kuliah, prinsip ekonomi paling dasar bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas. Artinya, mustahil orang bisa dipenuhi semua keinginannya.
Standar gaya hidup orang lain yang memaksa orang kehilangan kebahagiaannya. Kemudian uang dijadikan alat paling mudah meraih semua keinginan dengan melupakan variabel kebahagiaan lainnya. Hasilnya, segala cara kerap dilakukan agar bisa mendapat banyak uang dan membeli semua keinginannya.
Kasus Mario Dandi
Dek Dandi ini menjadi magnet berikutnya setelah drama pembunuhan Sambo. Aksi anarkis dan brutal terhadap David yang mengakibatkan koma beberapa hari. Kabarnya karena masalah asmara, apa pun itu, perilaku amoral Dandi patut menjadi renungan tentang ekstremnya kekerasan zaman sekarang.
Video yang beredar cukup menyayat hati seperti aksi dalam film laga. Tidak ada rasa kemanusiaan demi memperebutkan remaja usia 15 tahun, bernama Agnes Gracia Haryanto. Karena kasus itu, berbagai pihak menanggung kebiadaban dek Dandi.
Pertama, pihak sekolah. Pelaku, Mario Dandy Satriyo dikeluarkan dari Universitas Prasetya Mulya. Sanksi juga diberikan SMA 1 Tarakanita Jakarta kepada siswinya yang menjadi "biang keladi" Agnes Gracia Haryanto.
Kedua, pihak keluarga. Usaha restoran yang diduga milik ibu Dandi di Jogja, Bilik Kayu Heritage dapat ulasan negatif. Ayah Mario Dandy, Rafael Alun Trisambodo  juga dicopot dari jabatannya dari kantor pajak.
Ketiga, pihak institusi kementerian. Dari kasus anak kurang pendidikan ini, banyak pihak yang diseret. Paling diminati warganet tentu citra Kementerian Keuangan (kemenkeu) yang bertahun-tahun kampanye tentang kesadaran pajak kepada rakyat. Integritas lembaga tersebut naik seiring pengelolaan dan pendapatan pajak untuk menyelamatkan negara dari krisis masa pandemi.
Namun, citra tersebut hancur lebur dengan mulai dibukanya beberapa harta kekayaan pejabat kementeriaan yang di luar logika. Warganet mulai membandingkan gaji dan perolehan kekayaan yang dianggapnya mustahil, selain korupsi. Misalkan kekayaan ayah Mario Dandi pejabat pajak eselon III yang lebih dari 56 miliar.
Rakyat menyesalkan kepercayaan yang diberikan kepada "bendahara negara" melalui pajak malah terkesan dijadikan subsidi memperkaya pejabat di dalamnya. Lebih memprihatinkan lagi bahwa rakyat diwajibkan membayar pajak, sementara pejabatnya tidak taat pajak.
Namun saya lebih menyoroti besaran angka 56 miliar itu. Dengan gaji saya sekarang, 24 jam lembur seumur hidup pun mustahil mencapai angka tersebut. Uang sebanyak itu saya bagikan warga desa, sudah otomatis jadi kepala desa. Tidak lagi mumet mikir biaya seserahan, mahar (mas kawin), dan resepsi saya nanti.
Kesenjangan ekonomi yang njomplang jauh ini mulai memudarkan kebahagiaan saya yang sebelumnya beranggapan semua orang juga punya masalah finansial. Ternyata pikiran positif saya salah, jauh di kota sana, banyak orang yang ternyata hobi menghambur-hamburkan uang dan memamerkan kekayaannya.
Saya tidak lagi bisa bahagia. Saya iri, dengki, dan marah pada keadaan. Kenapa ayah saya tidak bisa sekaya ayah Mario Dandi. Apa hanya karena saya belum pernah menendang dan menginjak kepala orang hingga koma?!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI