Semenjak adanya hak kebebasan berprasangka, ditambah dengan kemajuan zaman yang kian menembus batas realitas, manusia cenderung enggan mengabdi kepada informasi. Fakta menjadi landasan kesekian untuk dijadikan kebutuhan. Ketika objektivitas diperkosa oleh subjektivitas yang samar, kacau balau hubungan di antara mereka.
Bahkan subjektivitas mampu mengalahkan hubungan percintaan, teman, keluarga, bahkan kepada Tuhannya sendiri. Mereka akan membenarkan opininya. Kebenaran yang mutlak melebihi kemutlakan Tuhan.
Menurut Jacob Sumardjo (2000), kebenaran bukan sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia, manusia yang memiliki tanggungjawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan kebenaran. Kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang diketemukannya.
Dalam beberapa bukunya, Nitzsche, menyatakan bahwa kebutuhan untuk percaya memanifestasikan dirinya dalam kehendak untuk kebenaran. Sekarang kehendak kebenaran berada di luar benar atau salah. Kehendak kebenaran akan menjadi pedoman atau pegangan hidup seseorang.
Semakin disalahkan mereka akan semakin meyakini kebenaran, dia akan mencari sesuatu untuk balik menyalahkan orang lain bahkan menyalahkan seluruh dunia. Seharusnya kita sudah mulai mengintrospeksi diri sendiri, mengapa kita tidak mau salah?!
Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Dewasa ini kebanyakan orang lebih suka mencari kesalahan orang lain daripada kesalahan sendiri.
Seharusnya manusia menempatkan diri pada dua hal; pertama, mencari kesalahan diri untuk dievaluasi dan bisa diperbaiki. Kedua, tidak mencari-cari kesalahan orang yang dianggapnya salah, tapi justru mencari kelebihan dan kebenarannya.
Baiknya, manusia tidak lagi menulis kesalahan orang lain ketika mereka sendiri lupa menghapus penyesalan atas kesalahan di masa lalunya. Melihat manusia lain baik dan merasa bahwa kita buruk. Sehingga yang dicari bukan kesalahan, juga bukan mengaku benar karena hidup adalah abu-abu.
Mencari kesalahan seseorang memang sangat mudah, bertolak belakang jika menilai kebaikan seseorang. Menyimpulkan kebencian tanpa usaha mencari sebab. Manusia terjerembab. Kehidupan bukan hanya tentang kita dan orang kedua. Masih ada tokoh ketiga, tokoh figuran, bahkan sutradara.
Hidup ada untuk penampakan, kesalahan, jebakan, penyamaran, dan pembutaan diri. Prinsip destruktif yang memusuhi hidup. Kehendak kebenaran secara diam-diam adalah kehendak kematian. Jika ketidakbenaran dihapuskan untuk memfanatikan kebenaran, maka mereka akan memotong bagian kehidupan. Jangan menangkap sebuah berita berdasarkan fakta yang abu-abu.
Pembuat cerita harus benar-benar memahami landasan sumber yang sah. Tidak boleh dipotong fakta narasumber untuk kepentingannya, juga penafsiran yang hitam-putih.Â