Ialah manusia yang tinggi derajatnya. Yang selayaknya ditempatkan pada kedudukan yang jauh lebih mulia dari sekadar pegawai negara, anak buah Kepala Dinas, atau agen-agen pencetak tenaga kerja bagi para pemilik modal. Apatah lagi sekadar karyawan, robot-robot penangguk cuan  bagi pebisnis-pebisnis lembaga pendidikan.
Ialah mereka yang martabatnya lebih mulia daripada para majikan, pangreh praja (pelaksana aturan/perintah negara, mandataris bukan pemerintah), bahkan pengadil-pengadil yang mulia. Lebih terhormat daripada wakil rakyat-wakil rakyat yang terhormat.
Ialah manusia yang taat norma. Yang menjadikan profesinya sebagai sarana pengabdian (ibadah), sehingga ia teguh lurus tak mudah tergoda pada kilau-kilau dunia di sekelilingnya. Sebab sebagai guru, ia dimulikan dengan kemuliaan yang nyata: Dicukupi segenap kebutuhannya, dijamin kesentausaannya, dilengkapi sarananya, diberi ruang seluas-luasnya dan jalan semudah-mudahnya untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya.
Aku tidak sanggup menyimak diskusi dalam video ini hingga tuntas.Â
Dengan demikian ia akan menjadi manusia tapa. Yakni yang mampu menempatkan dunia di belakang punggungnya alih-alih berlomba-lomba mengejarnya. Ia akan menjadi sang pemberi, bukan sang penerima pemberian. Ia bukan pahlawan tanpa tanda jasa, sebab kemajuan peradaban, lahirnya Karlina-Karlina Nusantara, adalah tanda jasa-tanda jasa yang selalu bermekaran mengharumkan bangsa, bunga-bunga yang niscaya merekahkan senyumnya. Demikian sebaliknya.
Maka bila benar bahwa siapapun yang saat ini tengah berebut singgasana berkehendak membawa nusa bangsa menuju kemuliaan yang purna, renungkanlah kata-kata Karlina. Renungkanlah wasiat Raden Mas Subadya. Ingatlah sosok-sosok dalam sejarah hidupmu yang kau sebut sebagai guru. Rinduilah mereka. Maka engkau akan tahu siapa sebenarnya dirimu, di mana kakimu berdiri, dan hendak ke mana engkau menuju. Bila demikian berlaku, tak sesal nanti aku memilihmu.
(Untukmu salam ta'zimku -Gus Memet)