Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dompet (Father and Son Diary II)

18 Mei 2023   22:11 Diperbarui: 18 Mei 2023   23:04 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer: Tulisan berikut mengandung materi sensitif. Readers discretion is advised.

Libur lebaran usai. Masa-masa ketiga anakku bersosialisasi di tengah keluarga dan handai taulan pun berakhir. Dian dan Lintang kembali diasuh oleh Kyai mereka. Bu Nyai di ponpes Yasinta Salatiga baru punya baby, Dian senang mengasuhnya.

Damar masih ada libur sepekan. Pas lebaran kemarin dia dapat jatah piket menerima tamu, jadi masa liburnya dapat dispensasi.

"Tak jemput Sabtu (13 Mei) yo, Cung? Minggu kita bablas Jogja. Tak jak ngalong." Kukirim pasan WA padanya.

"Yessir, ngalong ke mana?"
"Ada deh"
"Lha Senin aku wes masuk ki?"
"Mbolos. Sekalian kita ikut acara nikah mas bagus tgl 17."
"What??? Why???"
"Siap-siap aja."
"Oks."

Dari Wonosobo sehabis ashar, dengan Revo ban gundul, kampas rem aus, dan pajak telat, Sabtu habis maghrib aku sampai di Salatiga, rumah Kakung dan Uti, Tante Tere dan anak-anaknya. Chat WA untuk Mamak:

"Aku neng mbutuh, methuk Mha. Sesok mumpung minggu kliwon tak mampir nginguk kembar"

"Yo. Sesok tak nyelakno prei," jawab Mamak. Ia bekerja di rumah seorang dosen, merawat suaminya yang kena stroke dan harus didampingi intensif. Sulit baginya beroleh waktu libur.

Minggu itu, 14 Mei, kami kembali berkumpul full team di sebuah obyek wisata alam dekat ponpes Yasinta. Mamak memesan nasi bakar, sate kulit ayam, dan kue tart mungil. Ia ulang tahun. Hm... moment ajaib anugerah Tuhan setelah hampir enam tahun kami tercerai berai oleh lakon kehidupan.

Full team (selfie by Damar)
Full team (selfie by Damar)
Momentum di gubuk mungil tepi sawah itu singkat. Dian yang kolokan tak pernah melepaskan dirinya dari pelukanku. Sesekali ia terisak. "Kenapa Bapak tidak bisa lebih lama di sini?"

***

Sepanjang perjalanan Salatiga - Jogja lewat Boyolali, Mha terus bertanya soal ngalong. Ngalong adalah istilah lazim dalam dunia pondok pesantren, yakni aktivitas menimba ilmu di suatu ponpes tanpa boarding.

"Ada beberapa kemungkinan, ziarah ke makam Ndoro Purbo, ngalong ke pondok Pleret, pondok Krapyak, atau ke Tante Anna."

"Come on, jangan jokes bapak-bapak lagi," untuk opsi terakhir, Mha protes. Ia pernah sekali kuajak ke rumah Anna. Ia tahu macam apa isi rumah itu.

"I mean it. And now I decide. Kita ke rumah Tante Anna."

***

Sampai di Manding Serut jam tiga sore. Usai chit chat dengan keluarga kakak (Bli Made Saryawan, Mbak Tari, dan anak mereka: Sena dan Ni Luh),  tidur, mandi, dan makan malam lauk ndog bumbon, kami berangkat ke rumah Anna di jalan Kaliurang.

Jalanan Jogja tak lagi ramah. Padat, bising, dan penuh polutan. Sambil memberikan latar historis spot-spot remarkable yang kami lewati, mengerahkan safety riding skill dengan sepeda motor bermasalah, ditambah problem degeneratif, membuatku mengalami disorientasi. Nyasar ke sana sini dipermainkan jalur-jalur one way.

Butuh dua jam untuk sampai di rumah eksotik di tengah sawah yang sekarang tidak lagi sangat jauh dari peradaban. Wajarnya sih cuma sejam. Joke bapak-bapak tak bisa ditahan. "Harap maklum, tempat tinggal kaum wali memang wingit, susah ditemukan. Tak sembarang orang bisa masuk."

Memang, rumah yang sekaligus menjadi pabrik sake dan tempat nongkrong penghayat liberalisme, para agnostik, hingga penganut atheisme itu merupakan restricted area. Selain tersembunyi, bila tak kenal, tanpa referensi "orang dalam", jangan harap bisa masuk. Gerbang depan dipasangi police line oleh pemilik rumah dan dijaga sepasang anjing.

Anna menyambutku dengan peluk erat dan ciuman hangat. "Aku rindu kamu," bisiknya di kupingku, "kita nongkrong di atas saja ya, Uncle. Kumpul keluarga."

"Siapa saja?"

"Sebentar Dama datang dengan calon suaminya. Kamar tamu sekarang ditempati Wuri, anggota keluarga baru kita."

Ini kali ke dua Damar kuajak ke sana. Dulu, kami hanya duduk-duduk di bangku halaman. Kali ini Anna memintaku menginap. "Kamu seperti hantu, susah dapat momentum bersamamu. Tidur sini ya, Dimas... eh, Damar. Maaf. Tante selalu lupa menyebut namamu. Mau minum apa? kopi, teh?"

Aku minta kopi, Mha juga. Anna minta kami terus ke atas, dia belok ke dapur yang lokasinya berada di posisi terdepan rumahnya. "Arfi.., ada Uncle!" teriaknya sambil berlalu.

Arfi, suami Anna, nongol dari kamar di lantai dua pondok kayu utama. "Hai, piye kabarmu?" ia mengulurkan tangan.

"Alhamdulillah. Udah fit."

"O iya. Anna cerita kamu habis oprasi. Ini anakmu?"

"Iya. Dia penasaran pengen lihat Om Arfi bikin golok. Makanya mumpung ada acara keluarga di Jogja, tak ajak ke sini."

"Oh, gitu. Ya udah, naiklah dulu. Aku lagi bicara sama Illu."

Illuminati, dua belas tahun, anak tunggal Arfi dan Anna, penyandang disleksia. Aku dan Mha naik ke lantai dua pondok ke dua yang bolehlah disebut ruang keluarga. Anakku tak henti terkagum-kagum pada arsitektur rumah Tante Anna. "Disainernya bernama Mas Enyenk, pengidap scizophrenia," kataku.

"Wow."

Tak lama, Anna naik dengan tiga cangkir kopi. "Yang ini khusus untuk Damar."

"Kok beda?" tanyaku.

"Yang buat kita, kopinya kuseduh pakai air seduhan batang-batang cinta."

Wow.., cinta adalah istilah Anna untuk menyebut Canabis (ganja). Selain daunnya yang dipakai sebagai materi rokok, batang ganja juga mengandung tetrahidrokanabiol dalam kadar rendah tapi masih cukup memabukkan.

Ada batangnya, tentu ada daunnya. Setelah ngobrol sana sini, ke mana saja aku menghilang, absen kawan kawan komunitas yang masih sering datang, akhirnya sebatang lintingan ganja terhidang.

"Aku memintamu bermalam. Selain kangen, kebetulan ada yang ngasih cinta. Jadi, malam ini adalah malam istimewa. Bakarlah, Uncle," ujar Anna.

"Istimewa juga buat Damar. Tadinya aku pengen mengenalkannya pada alcohol. Kamu masih bikin sake, kan?"

"Kebetulan kosong. Baru beberapa hari lalu aku buat, masih proses fermentasi. Sayang, ya? Damar mau?" Anna menawarkan cinta pada Mha. Mha menatapku bingung.

"Terserah kamu. Kalau pengen tau gimana rasanya, ambillah. Kalau tidak, tidak usah. Jujurlah pada dirimu sendiri."

Mha mengulurkan tangannya. His first time.

Anna tersenyum. Ia mengajari teknik menghisap cinta pada anakku. Menjelaskan zat kandungannya, efek yang akan muncul, bagaimana menyikapinya, dan semua hal yang harus diketahui oleh orang yang terpapar zat psikotropika. Termasuk risiko dan manfaatnya.

"Kamu beruntung berkenalan dengan cinta didampingi bapak dan tante. Kamu pasti tahu kalau ini bersifat adiktif. Dengan semua yang tante dan bapak jelaskan padamu, kamu akan bijak menentukan pilihanmu sendiri apakah akan menjadi pecandu atau tidak.

'Tante dan bapak tidak seberuntung kamu. Kami mengenal dunia kami di masa-masa pencarian jati diri seusiamu dulu dari teman dan lingkungan yang sama tidak tahunya mengenai dunia baru itu. Tak ada yang bertanggungjawab memberi informasi yang dibutuhkan sebagai pembelajaran. Bapakmu beruntung bisa melepaskan diri dari semua bentuk ketergantungan pada psikotropika. Tante masih alcoholic sampai sekarang.

'Tante harap, setelah ini, Damar bisa memutuskan dengan bijak apa yang baik untukmu, apa yang tidak. Jangan pernah mengutuk objek, sebab yang harus bertanggungjawab adalah subyek. Kamu ngerti maksud tante, kan?"

"Iya tante."

Tak lama, Arfi dan Wuri bergabung. Menyusul Dama (keponakan Anna) dan Gun, calon suaminya. Illu sesekali ikut bergabung, dia sedang menyelesaikan tugas menggambar. 

Topik obrolan meluas. Aku yakin, Mha mengalami gegar budaya yang dahsyat ketika menyaksikan dan terlibat dalam perbincangan. Pun, Mha pasti shock melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana penampilan, attitude, etika, dan norma-norma yang berlaku di tengah komunitas bapaknya. Sesuatu yang pasti tak pernah diimajinasikannya.

"O ya, Uncle, tadi waktu mau ke sini aku nemu dompet tergeletak di ringroad utara. Isinya selain kartu identitas, atm, surat-surat kendaraan, juga ada uang satu juta rupiah," tiba-tiba Dama bercerita.

"Ya ampuunnn... kasihan sekali yang kehilangan. Terus?" Anna berteriak kaget.

"Ya aku sedih, nangis. Sempat kacau sih.., untung alamat di KTP tidak jauh. Kami berhasil menemukan pemiliknya. Hufh... lega. Itu sebabnya kami lambat datang."

"Duuhh... kebayang nggak sih panik dan sedihnya orang itu?" Wuri berkata tersendat-sendat. Airmata mengalir di pipinya.

"Sudahlah. Sekarang dia lagi bahagia-bahagianya. Sama bahagianya dengan kita malam ini," ujarku menetralisir emosi.

Anna terlonjak. "Ufh, benar. Harus dirayain nih. Sorry Uncle, bukannya bohong, tapi rasanya aku masih menyimpan tiga botol sake terakhir. Mudah-mudahan ketemu."

Seharusnya malam itu mencapai happy ending. Tapi barangkali Tuhan ingin aku menunjukkan pada anak lelakiku pelajaran hidup yang jauh lebih dahsyat. Sayangnya, aku terpaksa skip dulu peristiwa yang terjadi kemudian untuk pembaca. InsyaAllah, bila sudah memungkinkan, penggalam diary ini akan kuceritakan.

Malam itu, aku berdialog sangat panjamg dan intens dengan Mha. Malam itu, semua interaksi verbal yang pernah diperolehnya seumur hidupnya beroleh visualisasi konkrit dan jujur. Kami, bapak dan anak, sama-sama telanjang.

"Kamu tidak akan mampu mencerna semua ini dalam waktu singkat. Jangan kau lawan gempa dahsyat ini. Terima saja semampumu. Biarkan mengendap. Besok kita pulang, kamu kembali ke pondok pesantren. Kita akan menjalani hidup dengan ritme yang "normal" lagi. 

'Perlahan kamu akan mampu mencerna semua ini hingga tuntas dan itu akan menjelma ilmu yang sangat berharga sebagai bekal kehidupanmu selanjutnya. Maaf bila hanya ilmu yang bisa aku berikan." Kata-kata itu kutancapkan dalam-dalam.

"Are you sure, pop?"

"Not that sure. Tapi selamat, mulai malam ini, aku tidak mungkin lagi menganggap dan memperlakukanmu sebagai kanak-kanak. Kamu sudah menjadi laki-laki dewasa. Selamat.

'Dan tentu saja, happy birthday, nineteen and a week, right?"

Mha tersenyum. Sekarang dia tahu bahwa selama ini aku hanya pura-pura lupa tanggal lahirnya. 

"Thanks, pop," kata-katanya tersendat. Bulir air mata menggelinding dari sudut mata Mha.

***

Mha terlelap di hammock Arfi. Aku terjaga hingga cahaya mentari menyentuh daunan padi di sawah sekeliling rumah Anna. Benakku dibadai visi tak terbilang dalam selimut cahaya gilang gemilang. Aku berada di puncak gunung kesadaran.

Ya Allah, semoga apa yang kulakukan untuk mengemban amanah yang Kau titipkan beroleh ridha-Mu. Lindungi anak-anakku. Lindungi sahabat-sahabatku. Beri aku kekuatan untuk menuntaskan cerita yang Kau gubah. Hasbunallahu wa ni'mal wakilu 'allahi tawakkalna. Hanya Engkau pelindungku, Engkaulah sebaik-baik pelindung. Al Fatihah.

(Jogjakarta, 14 Mei 2023 - Gus Memet)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun