Uwi sendiri banyak sekali varietasnya, ada Uwi Ireng (hitam), Uwi Bang (merah), Uwi Alas, Uwi Ula, Uwi Randhu, Uwi Rondha Saluku... buanyak! Dan favoritku tentu saja Uwi Cicing.
Layaknya keluarga Discoreaceae, Uwi Cicing adalah tanaman menjalar dengan batang rambat berbentuk persegi. Umbinya besar berkulit coklat tapi dagingnya berwarna ungu. Itu sebabnya Uwi ini sering juga dinamai Uwi Ungu. Rasanya inuk tenan. Dan garansi seribu persen mengenyangkan.
Pada batang rambatnya yang menjalar ke mana-mana, bahkan bisa melilit rapat pohon kelor besar sekalipun, muncul bunga dan umbi gantung bulat kecil-kecil. Paling besar cuma sekepalan tanganku. Warna kulit umbi gantung ini pun coklat, dagingnya putih berlendir. Umbi gantung inilah yang namanya Cicing.
Kalau Mbokde Ngatmo lagi ngobong uwuh organik di jugangan, aku suka metik Cicing untuk dilempar ke kobaran api. Nanti, kalau api sudah padam, tinggal korek-korek abunya dengan carang untuk menemukan kembali Cicing-Cicing hangus yang siap dimakan. Awas, kalau lendirnya belum benar kering terbakar, biar tetap pulen rada gurih, lehermu bisa gatal.
Pakde Ngatmo suka marah kalau aku ketahuan mbakar Cicing.
"Cicing kok dipangan. Koyo enak-enako. Mbok ora nggragas to le.. le."
Makanya, biar njenengan tidak ikut dikatai nggragas (padan kata dalam Bahasa untuk kata ini belum ada, ada juga definisinya yang panjang, yakni "suka memakan yang tidak layak dimakan". Sedang "rakus" lebih tepat dipadankan dengan "dokoh" atau "belan", bukan "nggragas") dan diomeli Pakde, njenengan seyogyanya makan umbi pendam (nah, ini diksi baru yang pantas untuk lawan kata umbi gantung. Jangan dipikir yang namanya umbi pasti terpendam, emangnya harta Qorun? Bener lho, wong Manding bahkan menamai "pepaya" dengan "tela gantung", ubi dibilangnya "tela pendem")-nya saja yang ungu dan mempur. Sekaligus, demi mengurangi impor beras, njenengan tak ajari cara masaknya yang paling shopisticated.
Sabar. Sebentar. Janji ya, setelah nanti sadar bahwa negeri kita kaya sumber karbohidrat, njenengan seyogyanya kurangi konsumsi beras. Soalnya apapun alasannya, aku punya firasat kita tak akan pernah lagi mampu swasembada beras. Lha wong sawah makin susut diganti perumahan, petani-petani yang tersisa mungkin generasi terakhir. Anak-anaknya lebih suka kerja di kota, atau jadi bintang TikTok.
Tenin, kalu melihat perjalanan kita bersama sebagai satu nusa satu bangsa satu bahasa sampai hari ini, dan isi kepala calon-calon sopir kita setidaknya satu dasawarsa ke depan, aku berani taruhan paket data sepuluh giga, kita akan makin tergantung pada beras import. Maka, daripada banyak dalih dan saling hujat, sudahlah, apa ruginya sih jadi pemangsa umbi-umbian lagi? Gengsi?
"Yo nek ra oleh mangan Cicing, aku bedhulno Uwi." Jadi sodara, sebenarnya mbakari Cicing itu hanya trik kecil untuk membidik target yang lebih besar.