Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Lek Lek Ngayogyakarta

30 Maret 2023   08:16 Diperbarui: 30 Maret 2023   09:17 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: freepik.com

Daerah Istimewa yang tadinya wewengkon Krajan Mataram Islam itu nama resminya "Ngayogyakarta Hadiningrat". "Bahasa" menuliskannya "Yogyakarta". Nama pop propinsi di Jawa bagian tengah sisi selatan itu adalah "Jogja". Orang Jogja sendiri menyebut tanah kelahirannya dengan "Yoja".

Ragam sebutan ini timbul karena dalam ejaan lama "Bahasa", bunyi konsonan "y" dilambangi dengan aksara "j". Sementara bunyi konsonan "j" ditulis "dj". Maka, "Jogja" mestinya dibaca "Yogya". Kalau sekarang Ngayogyakarta dilafal Jogja (dengan aksara "j" tidak berbunyi "y" tapi "dj") itu yang namanya "salah kaprah, bener ora lumrah".

Lho, kok malah ngubek-ubek hal bahasa lagi. Makanannya mana?

Baiklah. Tapi sebelumnya, saya perlu kasih disclaimer bahwa ragam kuliner Jogja yang saya tulis secara berseri nanti barangkali bukan jenis makanan yang mahsyur. Gudeg, kuliner ikonik itu, memang saya sertakan (mendului pengantar ini malah), tapi menu yang lain, bisa jadi baru kali nanti njenengan kenal namanya tanpa bisa lihat wujudnya. Fotonya pun saya tak punya. Tapi percayalah, saya tidak jual pepesan kosong.

Menu-menu yang ada, diseleksi secara empiris. Walau dicantum bahan-bahan mentah dan cara memasaknya, seri ini tidak dimaksudkan sebagai tutorial masak memasak. Kalau njenengan terangsang dan nekad mau mempraktikkannya juga, saya sarankan jadikan tulisan-tulisan nanti sebagai inspirasi belaka. Inovasi dan kreativitas, atau bahasa sononya bid'ah hasanah, tidak diharamkan.

Pun seri ini bukan melulu review cita rasa dan selera plus kerakusan. Apalagi model mukbang yang nir-table manner itu.  Dan saya sudah wareg dengan literasi (teks, digiteks, maupun audio visual) macam itu. 

Kosekwensinya, walau main course-nya adalah makanan, di dalamnya bersemayam nostalgia, sejarah, dan semangat nguri-uri kebudayaan warisan leluhur. Bukankah kajian anthropologi sangat mungkin dilakukan dengan mengeksplorasi ragam boga yang ada? Saya, apa boleh buat, punya pondasi filosofis soal ini.

Jujur saja, saya terbelalak dan pengen meniru "Centhini", kitab pusparagam Jawa klasik yang di dalamnya, pada kadar tertentu, juga berkisah tentang khazanah kuliner. Tentu dalam konteks masa yang beda.

Pun saya ingin mengafirmasi Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah Ibn Khaldun" yang di antaranya memuat tesis bahwa berkembangnya peradaban manusia bersumber dari ketergantungannya pada asupan makanan dan cara memenuhinya. 

Nasi goreng misalnya. Mungkinkah njenengan memasak menu simpel dan pupuler itu dengan menisbikan capaian peradaban umat manusia seutuhnya? Sedang hanya untuk alat penggorengan pun terdapat sejarah metalurgi yang sedemikian rumit dan panjang. 

Dari nasinya, pokok bahasan menu ini, sangat luas spektrum yang bisa dijadikan diskursus. Kita bisa berpanjang kata membahas "pari", "gabah", "beras", "menir", hingga "nasi". "Bajak" dan "garu", "ani-ani" dan "pupuk subsidi". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun