Ketika -- oleh suatu alas an yang absurd -- saya memutuskan tidak ikut turun gunung usai mencapai puncak Semeru bersama beberapa kawan pada 1990, banyak hal terjadi selama dua bulan sesudahnya.  Di antara yang banyak  itu, satu yang dampak  psikologisnya masih terasa, bahkan setelah tiga dekade: kesepian akut.
Betapa bahagianya melihat cahaya lampu sorot di kejauhan yang hilang datang terhalang perdu dan terna pegunungan. Betapa menyenangkannya berdiang di depan perapian dan dan bercakap dengan human being setelah sekian pagi, siang, dan malam hanya berteman dengan mahluk-mahluk Tuhan yang diam. Dan betapa luka itu bertambah dalam ketika rombongan-rombongan pendaki yang datang kembali ke peradaban.
Di ketinggian yang lain, saya bisa merasakan, walau tidak begitu yakin, Jendral Sigit juga didera penyakit serupa tak lama setelah Presiden mendorongnya ke puncak karir. Yang bisa saya yakini, kesepian akut (bukan kronis) itu dirasakan juga oleh Kevin Costner dalam Dances With Wolves (1990) dan terutama dalam The Untouchable (1987) sebagai Eliot Ness.
Ness, agen FBI yag ditugasi memberangus jaringan mafia yang dikendalikan  Alphonse Gabriel Capone kesulitan menemukan "teman" di antara jajaran kepolisian Chicago. Hampir seluruh penegak hukum telah "tersentuh" pengaruh geng Chicago Outfit pimpinan "The Scarface" Al Capone yang mengontrol hampir semua "bisnis" haram, termasuk perdagangan narkoba dan pembunuhan , walau ia kemudian dibui sebelas tahun lewat kasus penggelapan pajak (ehm.., are they ring a bell?).
Untungnya Jendaral Sigit, eh, Eliot Ness tidak benar-benar sendiri dan akhirnya bisa membentuk satgas yang dikenal sebagai "The Untouchable" setelah berhasil mengumpulkan beberapa gelintir penegak hukum yang bersih. Peristiwa yang berlangsung pada 1920an ini melahirkan istilah "justice collaborator" untuk  anak buah Al yang mau bekerjasama dengan "The Untouchable" meretas simpul-simpul jaringan Chicago Outfit dengan imbalan fasilitas hukum tertentu. Â
Entah pula sebabnya saya menulis dongeng ini. Mungkin karena belakangan teman saya hanya presenter dan reporter stasiun tivi berita, wabil khos Kompas TV. Internet hanya ada kalau anak nitip hape di rumah. Entah pula kenapa saya acap didera rindu pada televisi bila sedang gabut dan pergi meninggalkan rumah. Bukan, bukan karena viral fever, tapi rupanya saya mulai keanduan kelucuan narasi dalam dialog antara presenter dan reporter tivi berita. Lelucon itu menghibur, meredakan kesepian.
Saya bisa memahami kebutuhan aktualita sebuah berita, apalagi berita yang tergolong viral. Saya juga bisa memahami bahwa jurnalis, awak media, bukan manusia super  yang menguasai segala hal dalam rangka mendeliver berita. Beda (kah?) dengan media cetak yang setidaknya membagi-bagi jurnalisnya dalm desk-desk tertentu sesuai dengan latar belakang  dan keahlian si jurnalis, dan punya sedikit atau banyak jeda untuk menata narasi sebelum menyiarkannya kepada audiens.Dalam siaran/reportase live di tivi, hal itu tak ada.
Apa sih maksoed lo? Duh, susah  juga menjelaskannya (ketularan nih). Begini aja deh, kalau Anda bosan dengan dagelan "Stand Up Comedy" atau banyolan "Sitkom", luangkan waktu barang tiga menit untuk merekam dialog presenter dengan reporter dalam reportase  live di stasiun tivi. Lalu coba transkripkan rekaman Anda kemudian dibaca.  Sesudah itu, silahkan tertawa.
Eh, ngomong-ngomong, yang dimaksud "eksepsi" alias "nota keberatan" dalam siaran langsung sidang kasus rencana pembunuhan, eh, pembunuhan ber (atau  ter?) rencana atas Brigadir J itu apa sih? Ha..ha..ha... [j]