Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sandyakala Jejak Pena

16 Januari 2022   10:58 Diperbarui: 16 Januari 2022   23:25 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak korban konflik di Garrisa, Kenya belajar menggambar.  Sketsa karya Farid Shan, ink on paper 30cm x43cm, 2013. (istimewa) 

Bahwa Dais menyebut tingkat kepercayaan dimaksud melorot hingga  40%, itu karena dia membaca tabulasi hasil survey secara parsial. Sebabnya, survey membagi tingkat kepercayaan dalam dua kuadran: cukup percaya (sekitar 40%) dan percaya (sekitar 32%).

Dari survey itu, ternyata ada bacaan lain. Tingkat aksesibilitas publik terhadap media massa arus utama ternyata melorot.
TV, yang dulu sangat digdaya dengan platform audio visual itu mulai ditinggalkan pemirsa. Radio, yang cuma bermodal audio, kian jarang menyajikan narasi berita. Iklan dan hiburan adalah formulasi terakhir untuk bertahan.

Yang paling terpuruk tentu media massa berbasis teknologi cetak, wa bil khusus koran. Pantaslah jika Dais, mantan spiderman yang berhasil menguntai jaringan koran terbesar nasional itu menangis.

Aku tidak punya data bagaimana halnya dengan media literasi cetak lain semisal majalah, buku, dan komik. Mungkin setali tiga uang. (Kalau ada blogger di platform ini yang bersedia mengulas data dan fenomena itu, aku bakal kirim fatihah banyak-banyak buatmu kelak. Sungguh.)

***

Tapi dinda, karena aku bicara soal aksesibilitas, bukan tingkat kepercayaan publik yang jadi soal, melainkan derajat minat baca. Menurunnya konsumsi terhadap produk teks cetakan (selain faktor daya beli, kepraktisan, kemasan, dan sebagainya) tentu berkorelasi juga dengan hal gawat ini: minat baca publik menurun.

Apalagi dinda, kalau kita fokuskan menurunnya minat baca itu ke segmen satu generasi di belakang kita: anak-anak, generasi milenial, keprihatinan ini makin pekat saja.

Walau kau dan aku kini lebih sering menghabiskan waktu di depan layar LCD, setidaknya kita pernah punya masa ketika buku adalah jendela dunia. Dongeng dalam tulisan bukan sekadar transfer narasi dan pengetahuan (ta'lim), tapi pintu ajaib menuju dunia imajinasi tak bertepi.

Sekarang, demi kepraktisan, sejak balita anak-anak digenggami piranti sakti pembunuh imajinasi. Ketika gerbang sekolah dikunci pandemi, mereka kita gerujug kuota data, bukan tumpukan buku untuk dibaca.

Lagi, aku cuma bisa mengutarakan data berdasar hasil pengamatan terhadap lingkungan seluas yang mampu kucapai: anak-anakku dan kawan-kawannya. Ya, katakan saja aku nyontek teori perkembangan psikologi anak ala Jean Piaget yang obyek penelitiannya tak lain anak-anak dia sendiri.

Kawan Mha semalam, bocah 16 tahun yang suka nulis cerpen itu, selain gemar menulis (niscaya) juga gemar membaca. Maksudku bacaan berupa jejak pena di atas kertas, bukan refleksi kode biner di layar telpon pintar. Ini kejutan, sebab langka benar kukenal anak sebaya dia gemar membaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun