LKS (Lembar Kerja Siswa) Memusingkan Orang Tua Peserta Didik
Penerbitan buku pelajaran sempat mengalami kejayaan selama beberapa decade, namun setelah diterbitkannya  permen 11 mulai oleng untuk dunia penerbitan buku pelajaran. Setelah sekolah negeri dilarang jualan buku pelajaran hampir secara bersamaan penerbitan buku pelajaran ramai ramai mengeluarkan pegawainya karena bangkrut.
Masih untung penerbitan buku yang tidak hanya menerbitkan buku-buku pelajaran (buku-buku umum dan buku perguruan tinggi) walaupun terseok-seok masih bisa berjalan dan masih ada beberapa pegawai yang masih bisa bertahan.
Akan tetapi penerbit yang hanya menerbitkan buku pelajaran semata langsung koma dan masih ada yang tetap menerbitkan buku pelajaran tertapi harus pasti berapa yang harus dicetak yaitu untuk melayani sekolah-sekolah swasta yang faforit dan yang uang masuknya tinggi begitu juga spp nya.
Namun sekolah swasta yang ecek-ecek artinya swasta sangat regular yang biaya masuknya hanya tus-tusan rupiah dan sppnya hanya luh-luhan ribu rupiah mengambil buku murah yaitu buku BSE. Buku yang bisa di download di internet  secara gratis yang hak ciptanya dimiliki olek kementian pendidikan nasional.
Sekarang ini karena buku pelajaran esensi tidak boleh dijual bebas di sekolah apalagi sekolah negeri. Toh kalau dijual bebas juga sepi pembelinya paling hanya sekolah yang swasta saja itupun bisa dihitung dengan jari. Maka penerbit buku lokal atas nama CV atau PT dan itu termasuk laris manis seperti kacang goreng walaupun belum pernah diferivikasi atau distandarisasi yang namanya LKSÂ (lembar kerja siswa) atau apapun namanya justeru bisa menembus sekolah negeri maupun swasta.
Harga LKS pun relatif murah dan sangat menunjang guru untuk melanjutkan kemalasannya karena disitu sudah lengkap dengan RPP/PROMES/PROTA dan kunci jawabannya walaupun seringnya lks memusingkan orang tua karena soal yang dibuat di lks sering tak terdapat dalam materi pelajaran dan terkadang juga menyimpang dari kurikulum. Sehingga kalau guru mau tetap melestarikan kemalasannya acuan inti dalam pembelajaran hanya LKS saja, buku materi yang esensi malah nyaris tak tersentuh.
Maka dengan sangat wajar karena LKS tak terferivikasi apalagi salesnya memberikan rabat yang tinggi walaupun isinya abal-abal dan tidak mendidik tetap saja diambil dan digunakan sebagai acuan inti dalam pembelajaran. Apalagi diming-imingi kompensasi yang menggiurkan.
Dalam hal budaya lokal sebetulnya kalau ditelusuri banyak hal yang menyimpang dari ajaran agama. Seharusnya budaya-budaya yang baik dan sesuai dengan ajaran agama saja yang tetap dilestarikan. Jangan sampai budaya jahiliyah masih saja dilestarikan dengan dalih memperkaya kazanah budaya bangsa.
Salam Semangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H